Senin, 05 Desember 2011

Jangan Serakah pada Saham Multifinance!

INILAH.COM, Jakarta – Meski berkinerja kinclong, saham-saham mulfinance tak likuid. Hanya ADMF yang bisa di-trading-kan. Karena itu, jangan serakah masuk pada saham sektor ini.

Pada perdagangan Jumat (2/12), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ) ditutup melemah tipis 1,26 poin (0,03%) ke level 3.779,836. Saham PT Adira Dinamika Multi Finance (ADMF) turun Rp50 (0,44%) ke level Rp11.100; PT Wahana Ottomitra Multiartha (WOMF) stagnan di level Rp250; CFIN turun Rp10 (2,29%) ke Rp425; dan PT Tunas Ridean (TURI) turun Rp10 (1,61%) ke level Rp610.

Managing Research Indosurya Asset Management Reza Priyambada mengatakan, beberapa emiten di sektor industri pembiayaan (multifinace) yang listed di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatatkan kinerja yang kinclong. Tapi, hanya ADMF yang kinerja sahamnya likuid.

Selebihnya, menurut Reza, kurang likuid. Bahkan, saham yang baru IPO pun seperti PT HD Finance (HDFA) tidak likuid sehingga kurang atraktif. “Karena itu, saham-saham sektor ini sangat tidak cocok untuk trading (harian) karena pergerakannya yang tidak begitu aktif,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Pergerakan saham sektor ini, hanya memanfaatkan momen-momen tertentu saja seperti kenaikan atau penurunan suku bunga. “Dari 13 saham multfinance, hanya ADMF yang pergerakannya aktif sementara WOMF tidak terlalu sering diperdagangkan,” ujarnya.

Begitu juga dengan PT BFI Finance (BFIN). Meski secara teknikal saat ini sudah berada pada area oversold (jenuh jual), secara teknikal, tidak ada potensi reversal (balik arah) menguat. “Nilai transaksi pun tipis,” papar Reza.

Padahal, kata dia, investor harus melihat likuiditas dalam transaksi untuk melihat potensi gain dalam jangka pendek. “Jadi, kalaupun masuk pada saham multifinance, susah keluar dan kalaupun mau nunggu, butuh waktu yang sangat lama,” ungkap dia.

Sementara itu, soal pembatasan kredit konsumsi oleh Bank Indonesia (BI), menurutnya, tidak berpengaruh pada emiten di sektor multifinance. Sebab, hal itu hanya berlaku bagi kredit di perbankan.

Di sisi lain, dana multifinance tidak murni dari perbankan. Menurutnya, kredit yang disalurkan berasal dari modalnya sendiri. “Meskipun, bisa juga multifinance meminjam ke bank untuk diputar dengan penyaluran kredit mereka. Suku bunga bank misalnya 5-6%, multifinance bisa membebankan ke konsumen 7-10%. Jadi, multifinace memiliki selisih spread 2-3%,” tuturnya.

Tapi, pendapatan rutin 2-3% itu, mengandaikan semua konsumen mampu bayar. Jika tidak, casflow multifinance akan terganggu juga sehingga pembayaran ke bank pun terhambat. Tapi, kredit ke multifinance, perbankan pun sudah punya kriterianya sendiri seperti Debt to Equity Ratio (DER), modal dasar, dan nilai total asetnya.

Pada saat yang sama, kata Reza, kalaupun perbankan membatasi kredit ke multifinance, emiten sektor ini masih bisa menerbitkan obligasi seperti yang sering dilakukan ADMF dan WOMF untuk menopang penyaluran kredit ke masyarakat. “Untuk masyarakat, tentu dengan bunga lebih tinggi dibandingkan yield obligasinya,” urainya.

Namun demikian, Reza menegaskan, kinerja saham sektor ini lebih banyak stagnannya. Lihat saja, ADMF yang satu grup dengan PT Bank Danamon (BDMN) saja, lebih aktif BDMN. “Karena itu, kalaupun mau masuk harus memanfaatkan momentum, baik penurunan suku bunga atau market sedang bullish. Jadi, harus benar-benar selektif,” ucap Reza.

Di atas semua itu, Reza melihat peluang pada saham-saham yang masih mengalami pergerakan seperti ADMF, WOMF dan CFIN. Menurutnya, bisa trading buy saham-saham tersebut dengan melihat besarnya likuiditas dan target gain 10-20 poin.

Tapi, dia mewanti-wanti, jika volume transaksi kecil, jangan paksakan masuk. Hingga akhir tahun, ADMF ditargetkan Rp12.000, WOMF Rp270 dan CFIN Rp495. “Jadi, jangan terlalu greedy di saham-saham ini, 5-7% dari total portopolio sudah cukup maksimal penempatan di saham sektor multifinance,” imbuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar