Senin, 28 Februari 2011

IHSG Terimbas Ganasnya Harga Minyak

Jakarta - Krisis Libya pekan lalu menjadi pemicu Anjloknya bursa saham di seluruh dunia, IHSG pekan lalu ditutup pada level 3443.5 atau tercatat melemah 1.66% selama sepekan.

Muhammad Fikri, analis dari BNI menjelaskan, pelemahan yang terjadi Pada IHSG tidak terlepas dari kekhawatiran Investor terhadap melejitnya harga minyak mentah dunia ke level USD 103 per barel sebagai akibat dari krisis libya yang dapat mengganggu supplai minyak mentah di dunia.

Seperti diketahui Libya termasuk salah satu negara pengekspor minyak terbesar di dunia. Saat ini, negara tersebut menduduki peringkat ke-15 sebagai pengekspor minyak.

"Sebagai salah satu penyuplai minyak mentah dunia, krisis yang terjadi di Libya dikhawatirkan mengurangi suplai minyak sehingga terjadi ketidak seimbangan terhadap suplai dan demand minyak mentah dunia, dan mendorong naiknya harga minyak. Kekhawatiran investor terhadap harga minyak yang terus membumbung membangkitkan ingatan investor saat masa sebelum krisis global 1998," ujar Fikri dalam reviewnya, Senin (28/2/2011).

Investor melihat bahwa kondisi makro ekonomi di beberapa negara saat ini hampir menyerupai kondisi sebelum krisis Sub prime Mortgage, dimana bursa saham melonjak 46% disertai volatilitas yang tinggi, rupiah menguat 4,5%, pertumbuhan ekonomi yang tumbuh diatas 6% serta harga minyak mentah dunia yang terus membumbung.

"Kondisi ini dipertegas oleh meroketnya harga komoditas dan pangan dunia yang pada akhirnya memicu tingginya angka inflasi di Emerging Market sehingga tidak mengherankan apabila Bank Sentral negara-negara Emerging Market pada pada akhirnya menaikan suku bunga patokannya," jelasnya.

Tercatat China dan Korea selatan telah menaikkan suku bunganya sebnayak 2x, Taiwan, Thailand dan Brazil sudah menaikkan suku bunganya 3x bahkan India telah menaikkan suku bunganya sebanyak 6x. sedangkan dari dalam negeri, BI baru saja menaikkan BI rate menjadi 6,75% pada awal bulan februari lalu. Perlu diketahui bahwa Indeks Harga Konsumen Indonesia pada akhir 2010 melampaui target yang ditetapkan Bank Indonesia di range 4%-6% sehingga BI perlu mengambil langkah konkret untuk menjaga inflasi dengan menaikkan suku bunga acuannya.

Fikri menjelaskan, rapuhnya ekonomi dunia juga tidak lepas dari Kondisi makro ekonomi Amerika sebagai Ekonomi terbesar dunia yang sampai saat ini masih labil. Tingginya angka pengangguran serta lambatnya pertumbuhan ekonomi masih menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para investor di Wall Street.

"Walaupun laporan emiten di bursa Amerika pada kuartal terakhir 2010 mencatatkan pertumbuhan yang baik, akan tetapi kondisi tersebut masih bersifat sementara karena investor masih merapa-raba apakah kinerja emiten tersebut masih dapat berlanjut pada kuartal pertama tahun ini mengingat terus naiknya harga minyak mentah dunia menjadi kekhawatiran terhadap naiknya beban operasional perusahaan," urainya.

Melihat kondisi tersebut diatas, Fikri menjelaskan, pada dasarnya banyak faktor yang perlu dipertimbangkan oleh para investor sebelum mengambil langkah investasinya. Namun demikian, Kembali dinaikkannya rating hutang Indonesia dari BB+ stabil menjadi BB+ positif oleh the Fitch rating diharapkan mampu mengembalikan kembali rasa percaya diri Investor untuk masuk ke bursa, kondisi ini mulai terlihat dimana pada sesi perdagangan jumat pekan lalu IHSG mampu menguat ditengah banyaknya sentimen negatif yang menyelimuti Bursa.

"Kondisi tersebut dipercaya masih akan berlanjut awal pekan ini, dan menjadi salah satu sentimen pendorong penguatan IHSG. Oleh karena itu IHSG pekan ini diprediksi masih akan bergerak mixed dengan kecenderungan menguat dan kembali mencoba menembus level 3500," jelas Fikri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar