Rabu, 02 Maret 2011

Waspadai efek lanjutan prime lending rate

Date : Mar 02 2011, 10:08
Title : News Story
Header : Waspadai efek lanjutan prime lending rate


Story
=======================================================================================

JAKARTA. Langkah Bank Indonesia (BI) mewajibkan perbankan mengumumkan suku
bunga dasar kredit (SBDK) atau prime lending rate layak mendapatkan apresiasi.
Sejumlah kalangan, terutama dari pengusaha, menyambut baik lantaran kebijakan
ini bisa menggiring bank menurunkan bunga kredit. Permintaan kredit bisa
bergairah.
Tapi, dibalik euforia itu juga tersimpan kekhawatiran lain. Jika penerapan
aturan ini tak terkontrol, kebijakan ini berpotensi menimbulkan ketidakstabilan
ekonomi. Menurut ekonom Mirza Adityaswara, karena bank berusaha tampil cantik
dengan berlomba-lomba menurunkan skor SBDK, permintaan kredit bisa melonjak.
Nah, di sini potensi bahaya itu muncul.
Penyaluran kredit dengan suku bunga yang terlalu rendah akan mengurangi
prinsip kehati-hatian perbankan. Akibatnya, rasio kredit bermasalah atawa
non-performing loan (NPL) bisa melejit.
Suku bunga yang terlalu rendah juga tidak bagus. "Lihat saja, di Amerika
terjadi bubble economy. Di sana kredit gampang, tapi NPL tinggi," ujar Mirza,
Selasa (1/3).
Suku bunga perbankan di beberapa segmen seperti korporasi dan kredit
pemilikan rumah (KPR) saat ini sudah cukup kompetitif. Namun, bunga kredit
sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta ritel, belum kompetitif
karena suku bunga yang dipatok oleh perbankan masih tinggi.
Meski demikian, Mirza menilai kebijakan BI ini cukup baik untuk mendorong
pertumbuhan kredit dan penurunan suku bunga kredit. Juga meningkatkan kompetisi
bank terutama di segmen UMKM dan ritel.
Pentingnya edukasi
Selain potensi kredit macet, kebijakan ini juga dikhawatirkan menimbulkan
ketidakpercayaan antara bank dan nasabah. Ekonomi Aviliani mengatakan, potensi
konflik itu muncul karena nasabah belum memahami SBDK yang tidak mencerminkan
bunga kredit. Perhitungan SBDK belum memasukkan unsur premi risiko. "Tugas BI
adalah mendidik masyarakat tentang premi risiko dan apa itu SBDK," kata dia.
Menurut komisaris Bank Rakyat Indonesia ini, bisa saja bunga kredit bank
jauh lebih tinggi dari SBDK yang dipublikasikan. "Masyarakat juga belum tentu
paham premi risiko, debitur UMKM tidak sama dengan korporasi," kata dia.
BI mewajibkan bank mengumumkan SBDK mulai Maret ini. Direktur Direktorat
Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Wimboh Santoso menjelaskan, kebijakan
ini merupakan dorongan agar bank transparan, sehingga penetapan bunga kredit
bisa lebih fair. "Nasabah biar tahu komponen SBDK. Nanti ketahuan bahwa bank
yang ini tidak seefisien dibanding bank yang lain," kata dia.
Pengaruh terhadap bunga kredit tidak bersifat langsung, karena sasaran
utamanya adalah transparansi. "Kalau suatu bank tidak efektif dan biayanya
terlalu tinggi kan dia akan malu dan akan menurunkan biayanya," kata Wimboh.
Dengan menimbulkan budaya malu, BI berharap bunga kredit turun.
[ Wahyu Satriani ]

KONTAN Wed, 02 Mar 2011 ( 09:44:12 WIB )


=======================================================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar