Rabu, 29 Juni 2011

Yunani Bisa Lebih Buruk dari Lehman Brothers

Headline
INILAH.COM, Jakarta - Yunani memvoting penghematan fiskal mulai Rabu (29/6). Jika gagal mencapai kesepakatan, Yunani bakal jadi pemicu krisis finansial global yang lebih buruk dari Lehman Brothers pada 2008.

Chief Economist Danareksa Research Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, jika parlemen tidak mencapai kebulatan tekad soal voting penghematan fiskal, Yunani batal mendapatkan bailout seniali 12 miliar euro. Artinya, Yunani tidak bisa memenuhi janji untuk melakukan austerity fiscal.

Karena itu, Yunani akan default dalam waktu yang tak lama lagi. Kegagalan bayar sudah bisa dilihat pada 10 Juli 2011. Bursa saham dunia akan merespon sangat negatif. Di sisi lain, pasar akan melihat penularan krisis Yunani ke negara-negara lain. “Ketidakpastian moneter global pun akan tinggi,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (29/6).

Default Yunani, menurut Purbaya, juga menjadi pemicu efek domino default (gagal bayar) negara-negara lain di Eropa yang standar fiskalnya buruk. Artinya, rasio utang terhadap Gross Domestic Product (GDP)-nya di atas 60% dengan defisit fiskal yang besar. “Kondisi itu, akan memicu krisis utang di Eropa secara umum,” tandasnya.

Akibatnya, lanjut Purbaya, surat utang yang dimiliki perbankan tidak laku akibat tiadanya harga. Perbankan pun menanggung banyak kerugian dan tidak bisa kembali memimjamkan dananya sehingga pada akhirnya jadi bangkrut. “Dana-dana untuk membangun ekonomi pun jadi berkurang,” timpal Purbaya.

Kondisi itu, akan membuat perlambatan ekonomi Eropa yang signifikan dan berimbas negatif bagi ekonomi global. Padahal, ekonomi Eropa saat ini sedang dalam pemulihan. “Tapi, jika krisis utang Yunani tidak bisa dituntaskan, akan merusak recovery yang sudah terjadi pada ekonomi Eropa dan dunia saat ini,” ungkapnya.

Menurutnya, efek domino Yunani akan sama seperti perembetan krisis subprime mortgage lembaga finansial Lehman Brodthers pada 2008, bahkan bisa lebih buruk lagi. “Yunani merupakan batu ujian bagi kekompakan Uni Eropa saat ini,” tandas dia.

Padahal, lanjutnya, jika Uni Eropa pada April-Mei 2010, sudah mendesain penyelesaian krisis utang Yunani, seharusnya krisis itu sudah selesai saat ini. “Sepertinya, Uni Eropa keliru meng-handle Yunani, lalu tindakan International Monetary Fund (IMF) keliru dalam bailout dan banyak negara Uni Eropa lain yang ragu melakukan bailout. Ini sangat nyata adanya ketidakkompakan di Uni Eropa,” paparnya.

Akibatnya, pasar meragukan kredibilitas paket penyelamatan Yunani sehingga rating utang negeri para dewa itu terus di-downgrade oleh berbagai lembaga pemeringkat internasinal ke bawah level ‘sampah’ (junk bond). Pasar pun semakin panik. “Padahal, ekonomi Eropa saat ini membaik,” ucapnya.

Purbaya memaparkan, Yunani dengan rasio utang di atas 90% dan peringkat utang di bawah level sampah (junk bond) akan susah menjaga kepercayaan di pasar obligasi. Apalagi, di belahan dunia lain AS mengalami rasio utang yang tinggi 98,16% dan Jepang 200% terhadap PDB. “Jepang dan AS pun akan di-down grade,” timpalnya.

Intinya, ditegaskan Purbaya, Yunani akan memicu krisis Eropa, lalu menjalar ke AS dan Jepang dan pada akhirnya memicu krisis yang dalam pada finansial dunia. Pasar saham, pasar obligasi dan rupiah akan mengalami kejatuhan yang dalam. “Apalagi, pasar finansial Indonesia dikuasai 60% asing,” ungkap Purbaya.

Menurutnya, jika risiko global meningkat, investor asing lebih percaya pada dolar AS dan akan menyimpan dananya di tempat yang dianggap paling aman dalam aset-aset dolar. Pada saat ekonomi dunia jatuh, dolar AS menguat tajam hingga mencapai 13.000 menuju 17.000 per dolar AS pada 2008.

Belakangan ini pun, pada saat Yunani berpotensi default, dolar AS menguat tajam terhadap euro hampir tembus US$1,40 per euro. “Tapi, pada saat ekonomi membaik, dolar AS melemah karena investor asing kembali berani mengambil aset-aset berisiko termasuk rupiah,” urainya.

Di atas semua itu, jika skenario terburuk berlaku di Yunani, rasio utang Indonesia dalam posisi yang sehat 26% terhadap PDB dari batas maksimal 60% dan defisit fiskal 2011 di level 1,8% terhadap GDP. Karena itu, ekonomi Indonesia masih dianggap prudent. Jika dunia memasuki kontraksi ekonomi, berkaca pada 2009, Indonesia bisa tumbuh 4,5%. “Jadi, jika tidak terlalu panik, RI bisa tumbuh 4,5%-5% jika krisis global terulang seperti 2008,” imbuhnya. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar