Senin, 24 Januari 2011

Sejarah Inflasi dan Guncangan Pasar 'Nyaris' Berulang


Jakarta - History Repeats Itself, mungkin adalah kata-kata yang cocok untuk mengungkapkan keadaan saat ini. Setidaknya apa yang terjadi pada perekonomian dan bursa Indonesia di 2005 sepertinya terulang di 2010 dan awal 2011 ini.

Betrand Raynaldi, Head of Research PT eTrading Securities menjelaskan, sepanjang 2010, laju inflasi di Indonsia mencapai 6,96%, di atas perkiraan publik yang hanya 5%. Di awal 2011, harga minyak mentah dunia sempat melonjak hingga menyentuh US$ 92/barrel.

Akibatnya, Bank Indonesia mulai mengambil ancang-ancang untuk menaikkan suku bunga alias BI Rate, karena otoritas bank sentral melihat tekanan inflasi masih akan mengancam di 2011.

IHSG pun terkena imbasnya, sejak penutupannya di akhir 2010 di level 3.703,512, Index Harga Saham Gabungan ini turun hingga 3.535,731, atau turun sekitar -4,5% pada penutupan 17 Januari.

"Segala rentetan masalah ini membawa kita flashback ke 2005. Di mana kenaikan harga minyak dunia memaksa pemerintah untuk menaikan harga BBM, harga bensin premium dari Rp 1.800 naik ke Rp 2,400 pada Maret 2005 (+32.%), dan gelombang kenaikan kedua pada Oktober 2005 dari Rp 2,400 ke Rp 4,500 (+87.5%)," jelas Betrand dalam economic view-nya yang dikutip detikFinance, Senin (24/1/2011).

Inflasi pun meningkat, dari 9,06% di September, naik hingga 17,89% di Oktober 2005. Hal ini juga diiringi dengan kenaikan BI Rate secara bertahap, 10% di September, 11% di Oktober, 12,25% di November, dan 12,75% di Desember.

"IHSG saat itu pun terkena imbasnya, berada pada titik tertingginya pada akhir Juli di level 1182,301, index turun ke level terendahnya di akhir Oktober di level 1066,224, atau penurunan hampir 10%," imbuh Betrand.

Ancaman inflasi akibat dari naiknya harga pangan dan biaya energi yang akan memaksa Bank Indonesia menaikan BI rate untuk mengendalikan inflasi, hal-hal tersebut berdampak pada:

1. Peningkatan cost of fund

Perusahaan-perusahaan yang mempunyai utang rupiah dengan suku bunga mengambang. Akan mengalami peningkatan biaya bunga yang akan menekan sisi profitabilitas.

2. Penurunan daya beli

Peningkatan harga pangan dan biaya energi akan memukul purchasing power atau daya beli. Sedangkan kenaikan BI rate akan mendorong kenaikan suku bunga kredit yang akan mendorong orang untuk membeli mobil ataupun rumah secara kredit. Berdasarkan data dari Gaikindo, di 2004 penjualan mobil adalah 483 ribu unit, sementara di 2005 menjadi 534 ribu unit, tapi di 2006 angka tersebut menurun hingga 319 ribu unit.

Betrand melihat, ada 3 sektor yang mempunyai kinerja paling buruk di 2005 lalu, berdasarkan pergerakan harganya yakni properti, keuangan dan perbankan, dan industri dasar. Selain 3 sektor itu, kenaikan BBM, inflasi, dan BI Rate juga mempengaruhi sektor-sektor lain seperti pertambangan, consumer goods, perkebunan, dan industri lain seperti perdagangan dan jasa.

Berdasarkan data historis IHSG di 2003 hingga 2007, Betrand menilai pergerakan IHSG di 2005 relatif lebih rendah dibandingkan 2 tahun sebelum dan sesudahnya.
  • IHSG 2003: mengalami pertumbuhan sebesar 69%
  • IHSG 2004: mengalami pertumbuhan sebesar 41%
  • IHSG 2005: mengalami pertumbuhan sebesar 16%
  • IHSG 2006: mengalami pertumbuhan sebesar 54%
  • IHSG 2007: mengalami pertumbuhan sebesar 49%.
"Dampak inflasi dan kenaikan BI Rate pada tahun 2005, menghambat pertumbuhan IHSG yang hanya naik sebesar 16%. Angka tersebut adalah angka yang relatif rendah jika dibandingkan tahun-tahun sebelum dan sesudahnya," jelas Betrand.

Betrand menjelaskan, perbedaan terbesar antara inflasi 2005 dan inflasi 2010 adalah inflasi di 2005 disebabkan oleh kenaikan harga BBM, dan hal ini menyebabkan kenaikan biaya transportasi semua industri, yang juga akan mempengaruhi cash flow perusahaan. Sementara pada akhir 2010, kenaikan inflasi lebih banyak disebabkan oleh kenaikan harga bahan pangan.

"Selama pemerintah dapat mengontrol stok dan harga barang pangan, maka kenaikan inflasi masih dapat dikontrol," jelasnya.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi inflasi ke depannya di 2011 adalah pengaruh dari pembatasan BBM bersubsidi pada April mendatang, dan juga pengaruh dari harga minyak dunia yang tahun ini diprediksikan masih akan naik. Pembatasan tersebut akan semakin meningkatkan beban biaya masyarakat, yang tentunya akan dapat memicu inflasi yang lebih tinggi.

Sentimen negatif yang datang dari dalam dan luar negeri tentu akan memberikan pengaruh buruk ke IHSG. Sejauh ini, Betrand melihat IHSG memang sudah turun cukup dalam dan menembus level support kuatnya di 3.450. Beberapa sektor seperti properti dan konstruksi, perbankan, industri semen sudah mendapatkan sentiment negatif dari persepsi mengenai kenaikan inflasi.

Di lain sisi beberapa emiten mendapatkan keuntungan dari produk/servis yang mereka miliki. Terutama industri-industri yang mempunyai korelasi positif terhadap kenaikan minyak dunia. Kenaikan harga minyak dunia menguntungkan sektor-sektor yang memproduksi penggantinya, seperti Coal, CPO, dan Gas.

"Fundamental dari setiap perusahaan masih menjadi faktor yang sangat penting. Terbukti pada tahun 2005, meskipun saham-saham lain yang berada dalam satu industri sedang turun, tapi emiten yang mempunyai fundamental kuat masih menunjukan growth yang stabil dalam Net Income atau Operating Income-nya. Contohnya PGAS, BBCA, LSIP," jelas Betrand. (qom/dnl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar