Kamis, 19 Januari 2012

Impor Dibatasi AS-Eropa, GDP China Susut

Headline
INILAH.COM, Beijing - Setelah Bank Sentral China pekan lalu mengumumkan cadangan devisanya menurun pertama kali dalam sepuluh tahun terakhir, kini giliran pemerintah mengungkapkan ekonomi China sepanjang 2011 menurun dan pertumbuhannya menjadi 9,2%.

Devisa China dalam mata uang asing tercatat sebesar US$ 3,181 triliun pada posisi tutup tahun kemarin, atau menurun US$20,55 miliar dibanding kuartal ke tiga 2011. Penurunan ini berkaitan dengan arus uang yang keluar dari khazanah bank sentral, karena investor meyakini ekonomi China mulai melambat pada 2012 ini.

Pemerintah China Selasa (17/1), menurut China Daily, mengungkapkan pertumbuhan ekonominya turun menjadi 9,2 %, mulai melambat dibandingkan pertumbuhan 2010 yang 10,4%. Angka pertumbuhan ini jauh dari di atas perkiraan pemerintah yang terlalu pruden memprediksi pertumbuhan ekonomi China. Pemerintah memprediksikan ekonomi China hanya tumbuh 8% sepanjang tahun lalu.

Pemerintah mengatakan penyebab penurunan pertumbuhan itu karena ekonomi dunia sedang diterpa angin puting beliung, di samping karena tingkat inflasi dunia yang juga relatif tinggi.

Namun pertumbuhan ekonomi nomor dua terbesar di dunia ini masih cukup sehat, sehingga tidak terhempas melakukan pendaratan keras (hard landing), kendati pasar ekspor ke Amerika Serikat dan Eropa tergolong melunak, kata sejumlah analis. Mereka, para analis itu, memperkirakan bank sentral akan lebih ketat melepas kredit dalam waktu dekat.

“Ini mengindikasikan ekonomi China cukup bagus dan stabil, dan soft landing tampaknya akan terjadi. Karena itu, pemerintah China tampaknya lebih suka menunda kebijakan melonggarkan kredit,” ujar Li Huiyong, ekonomom pada Shenyin Wanguo Securitas di Shanghai.

Gross Domestic Product (GDP) China yang tumbuh 8.9% pada kuartal keempat tahun lalu, menurut Biro Statistik Nasional, termasuk melampaui harapan para analis. “Ya memang cenderung melambat, meskipun tidak secara khusus kelihatan agresif. Ekonomi China tampaknya secara mengejutkan menuju ketahanan baru,” ungkap Stephen Green, kepala riset regional pada Standard Chartered Bank di Hong Kong.

Output dari jutaan pabrik dan industri rumahan di China naik 13,9% sepanjang 2011, lebih lambat dibanding 2010, karena penurunan permintaan dari pasar ekspor. Belanja pemerintah untuk pembangunan infrastruktur hanya naik sedikit pada pertumbuhan 23,8% tahun lalu, karena pemerintah pusat tak jadi memberikan stimulus kepada bidang infrastruktur ini.

Penjualan barang konsumsi sebagai indikator consumer spending naik 17,1% pada 2011, juga menurun dibanding, meskipun pemerintah menggalakan konsumsi domestik agar memacu pertumbuhan ekonomi.

Kepala Biro Statistik Nasional Ma Jiantung mengingatkan China yang mungkin bakal menghadapi situasi yang sulit sehubungan dengan krisis utang Eropa.“Kita harus menyadari turbulensi pasar finansial internasional dan semakin meningkatnya proteksionisme akan menambah serius tantangan yang harus kita hadapi,” kata Ma dalam suatu konferensi baru-baru ini.

“Namun kita percaya, jika kita bekerja keras, maka kita akan mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang mantap pada 2012,” tambah Ma.

Para ekonom memprediksikan pertumbuhan GDP China akan mencapai sekitar 8 dan 8,5% pada 2012. Angka itu akan terlihat ketika semacam APBN China dibacakan di hadapan parlemen pada Maret mendatang.

Melihat kecenderungan penurunan GDP China, turbulensi pasar finansial dunia, serta kecenderungan AS dan Eropa mengerem impor barang-barang China, Indonesia harus juga mewaspadai imbas penurunan ini.

Misalnya, pemerintah SBY tak bisa lagi mempertahankan subsidi BBM yang lebih dari Rp100 triliun setahun. Viernam yang lebih miskin dari Indonesia saja menjual bensin Rp10.000 per liter. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar