Kamis, 06 Oktober 2011

Ekonomi China Lesu, CDS Laku Keras

Medium
INILAH.COM, Beijing - Kekhawatiran perlambatan ekonomi di China telah memicu lonjakan perdagangan dalam instrumen yang menjamin investor terhadap standar default obligasi.

Mengutip Financial Times, nilai bersih credit default swap (CDS) utang di China telah melonjak menjadi $ 8,3 miliar, menurut data yang dirilis minggu ini oleh The Depository Trust and Clearing Corporation.

Pasar CDS China sekarang adalah 10 terbesar dunia, dan terbesar di Poutugal dan Bank of America. Dua tahun lalu outstanding CDS China bersih mencapai $ 1,6 miliar yang tersecar di 227 terbesar dunia pada saat itu.

"Jelas kekhawatiran meningkat sekitar pasar China dan retakan kecil mulai muncul dalam pertumbuhan ekonomi," kata Ann Wyman, kepala penelitian pasar negara berkembang di Nomura.

Hedge Fund Manager tersohor seperti James Chanos dan Hugh Hendry telah sering dan terbuka memprediksi kejatuhan properti dan perlambatan ekonomi yang tajam di China, dan telah meluncurkan dana khusus untuk mendapatkan keuntungan dari ini.

Hendry melalui produknya Eclectica Credit Fund, telah menekuk keuntungan yang signifikan selama dua bulan terakhir, bahkan akibat banyak rekan industrinya yang enderita kerugian akibat gejolak keuangan baru-baru.

Sementara utang luar negeri China masih dianggap sebagai salah satu yang teraman di dunia, di mana harga CDS China mencapau tertinggi dalam dua tahun dari 208 basis poin minggu ini, menurut Markit. Pada Rabu CDS China jatuh ke 187 bps. Itu berarti setara biayanya setara dengan $ 187 ribu per tahun untuk menginsure $ 10 juta untuk lima tahun.

Analis mengatakan meningkatnya permintaan dan harga untuk CDS China ini terkait dengan kekhawatiran baru-baru ini terhadap kemampuan otoritas untuk mengelola soft landing setelah bertahun-tahun pertumbuhan ekonomi lesu.

Harga perumahan yang melonjak dari akhir 2008-2010 umumnya telah mendorong kekhawatiran bahwa gelembung properti bisa meledak, dengan efek negatif yang serius bagi perekonomian yang lebih luas. Pihak berwenang telah merespon dengan menaikkan uang muka kredit, memerintahkan bank untuk mengurangi pinjaman ke pengembang dan pengetatan kebijakan moneter.

Pertumbuhan yang lesu di Eropa, pasar ekspor utama China, memperburuk kekhawatiran baru-baru ini. Otoritas dihadapkan pada keputusan sulit mengenai apakah akan melanjutkan pengetatan moneter di tengah lesunya ekonomi global. "Data inflasi September kemungkinan akan menentukan langkah selanjutnya bagi para pembuat kebijakan," kata Alex Hamilton, seorang ekonom di industri penyedia data Markit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar