Jumat, 11 November 2011

Dihantui Krisis Eropa, Rupiah Melemah 1,36% Selama Oktober

Gb
Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selama periode Oktober tercatat melemah 1,36% ke level Rp 8.865 per dolar AS. Selama Oktober 2011 rambatan sentimen negatif akibat penurunan kredit rating Spanyol dan Italia memberikan tekanan pada rupiah.

Namun secara periode Januari hingga Oktober 2011 rupiah menguat 1,77%. Penguatan tipis itu beriringan dengan pergerakan nilai tukar di negara-negara kawasan yang secara rata-rata mengalami koreksi.

Selama Oktober 2011, secara point to point rupiah terkoreksi sebesar 0,71% dari bulan sebelumnya dan ditutup pada level Rp 8.853 per dolar AS.

Demikian disampaikan BI dalam Laporan Tinjauan Kebijakan Moneter (TKM) seperti dikutip detikFinance di Jakarta, Jumat (11/11/2011).

"Pelemahan rupiah tersebut relatif sejalan dengan pergerakan nilai tukar kawasan yang secara rata-rata juga mengalami koreksi. Dengan perkembangan tersebut, sejak awal tahun 2011 rupiah membukukan penguatan sebesar 1,77% (ytd). Tekanan yang terjadi pada rupiah diikuti oleh volatilitas yang menurun," demikian disampaikan BI.

Kebijakan stabilisasi yang dilakukan BI di tengah masih tingginya ketidakpastian global mampu meredam volatilitas pergerakan rupiah. Tingkat volatilitas rupiah pada bulan laporan atau Oktober 2011 menjadi 0,34% dari 0,91% pada bulan sebelumnya.

Rupiah 'Dihantui' Krisis Ekonomi Global

Ketidakpastian penanganan krisis utang di kawasan Eropa serta melemahnya perekonomian negara maju memberikan dampak tidak langsung pada pasar keuangan
domestik yang pada gilirannya memengaruhi pergerakan rupiah.

"Namun di penghujung bulan, harapan dicapainya kesepakatan langkah penanganan pada pertemuan otoritas Uni Eropa di akhir bulan serta rilis data makroekonomi AS yang positif memberikan angin segar bagi pasar keuangan global. Selain itu, melimpahnya likuiditas global berpotensi mendorong penguatan rupiah ke depan," papar BI.

BI memaparkan ekses likuiditas global pasca pelonggaran kuantitatif di masa krisis tahun 2008 dan terus berlanjutnya program pembelian aset oleh beberapa bank sentral tetap menjadi sumber aliran dana ke negara berkembang. Kebijakan suku bunga rendah di negara maju menyebabkan investor mencari lokasi penempatan dana yang memberikan imbal hasil lebih tinggi.

Terkait terjadinya masalah perekonomian yang serius di Italia, Deputi Gubernur BI Hartadi Sarwono menyampaikan pengaruh terhadap perekonomian Indonesia cukup terasa meski bersifat sementara alias temporer.

"Pengaruh sentimen negatif Itali terhadap bond market kita diperkirakan hanya temporer meningkatkan yield dan CDS. Hanya investor yang profit taking dan spekulatif saja yang melepas bond kita," kata Hartadi kepada detikFinance.

Namun, Hartadi menambahkan investor sangat terbatas untuk menempatkan dananya di dunia ini sehingga tetap mencari pasar dengan prospek yang bagus seperti Indonesia. Lebih jauh Hartadi menyampaikan penurunan BI Rate didasarkan pada keyakinan inflasi tahun ini akan mencapai sekitar 4%.

"Sehingga akan memberikan signal ke pasar bahwa perkonomian kita terkelola secara baik tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi 6,5% namun disertai inflasi yang rendah. Tahun depan infalsi juga masih terkendali di sekitar 5% sehingga suku bunga riil 1% (selisih antara suku bunga dengan inflasi) dirasakan cukup tinggi," paparnya.

(dru/qom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar