Jumat, 11 November 2011

Krisis Italia Bakal Giring IHSG ke Level 2.500?

INILAH.COM, Jakarta – Yield obligasi Italia yang tembus 7% pertanda kecemasan pasar yang menjadi-jadi. Apalagi ekonomi Italia, ketiga terbesar di Eropa. IHSG pun bisa tergiring ke 3.500. Benarkah?

Pada perdagangan Kamis (10/11), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ) ditutup melemah 73,48 poin (1,90%) ke level 3.783,881. Harga intraday tertingginya mencapai 3.856,449 dan terendah 3.748,087. Begitu juga dengan indeks saham unggulan LQ45 yang turun 15,42 poin (2,24%) ke level 673,863.

Analis Infovesta Utama Praska Putrantyo memperkirakan, IHSG berpeluang melanjutkan pelemahan akhir pekan ini. “Indeks memiliki resistance 3.825 dan support 3.700,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Kamis (10/11).

Pasalnya, krisis utang Eropa tidak memiliki jalan keluar. Menurutnya, selain krisis utang, Eropa juga terjebak pada krisis politik mengenai pergantian perdana menteri baik di Italia maupun di Yunani. “Jika masalah ini berlarut-larut, sangat berbahaya,” ujarnya.

Menurut Praska, Yunani belum memiliki kepastian soal siapa pengganti Perdana Menteri George Papandreou. Begitu juga dengan Italia tentang siapa pengganti Perdana Menteri Silvio Berlusconi. “Karena itu, pasar cenderung wait and see terutama dalam hal transisi pemerintahan yang nantinya bisa membawa kedua negara itu keluar dari krisis,” papar Praska.

Apalagi, lanjutnya, hasil pertemuan G20 pada 3-4 November di Cannes, Perancis, juga tidak memuaskan. G20 justru tidak yakin, jika membantu, Eropa akan pulih. Masalah politik di Yunani dan Italia juga menambah keraguan komitmen negara berkembang untuk membantu Eropa. “Karena itu, akhir pekan ini orang masih cenderung profit taking,” tandasnya.

Di sisi lain, sejak awal pekan, (7/11) hingga (9/11) indeks sudah menguat 2,1%, meskipun relative stagnan dibandingkan penutupan kemarin. Indeks juga tertekan oleh aksi jual investor asing yang kemarin mencatatkan net sell hingga Rp1,1 triliun terutama pada saham-saham berkapitalisasi besar di grup Astra, sektor pertambangan dan perbankan.

Praska menegaskan, orang mengamankan portofolio karena khawatir Perdana Menteri Yunani atau Italia yang baru tidak sesuai dengan keinginan pasar. Jika ada harapan pada penggatinya, baru pasar akan kembali masuk ke market karena peluang perbaikan ekonomi pada kedua negara itu.

Pasar juga mencermati hasil lelang obligasi Italia semalam setelah kemarin, yield obligasi Italia mencapai 7,5%. Karena itu, semakin besar biaya pinjaman Italia, semakin besar juga potensi bailoutnya.

Praska menegaskan, pasar cemas karena ekonomi Italia merupakan yang terbesar ketiga di Eropa setelah Jerman dan Perancis. Karena itu, bailout Italia jauh lebih besar dibandingkan Yunani. Meski rasio utang Italia (120% PDB) lebih kecil dibandingkan Yunani (160%), utang Italia mencapai 1,9 triliun euro lebih besar dari Yunani yang 370 miliar euro. Utang Italia mencapai lima kali lipat Yunani.

Atas alasan itu, Praska juga tidak sependapat, pengaruh negatif Italia ke pasar financial akan sama dengan pengaruh Yunani. Sebab, size ekonomi Italia jauh lebih besar. Jika Italia bermasalah, pemegang obligasi Italia juga bermasalah, meskipun, rating utang Italia saat ini masih di level investment grade.

Per 5 Oktober 2011, Moody’s Investor Service memangkas rating Italia jadi A2 dari Aa2 dengan outlook negatif. Begitu juga dengan Fitch Rating yang memangkas rating Italia ke level A+ dari AA-. “Tapi, jika Italia dibailout, rating itu akan dipangkas lebih dalam lagi sehingga pengaruh Italia akan lebih buruk dibandingkan Yunani,” tandasnya.

Skenario terburuk Italia, Praska memperkirakan, bisa menggiring IHSG ke level 2.500-3.000. Tapi, jika Italia baru dinyatakan 99% potensial gagal bayar (default), indeks bakal kembali melemah ke level 3.200.

Praska berpendapat, jika Italia mendapatkan bailout, tidak terlalu bahaya bagi market. Yang lebih bahaya adalah jika pasar khawatir Italia susah mendapatkan bailout. “Yunani belum selesai ditangani, muncul masalah Italia,” timpalnya.

Sementara itu, Praska menambahkan, pemangkasan BI rate 50 basis poin (0,50%) ke level 6%, baru akan direspon pekan depan. Saat ini, orang masih mencermati efek global. “Apalagi, pada Oktober lalu, saat BI rate dipangkas 25 basis poin dari 6,75%, indeks justru turun ke level 3.200-an,” ungkapnya.

Di atas semua itu, Praska merekomendasikan positif saham-saham di sektor perbankan yang jadi penggerak IHSG. Di antaranya, PT Bank Mandiri (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dan PT Bank Central Asia (BBCA).

Saham lain yang cukup defensif juga direkomendasikan seperti saham PT Perusahaan Gas Negara (PGAS), PT Indofood Sukses Makmur (INDF) dan PT Unilever Indonesia (UNVR). “Saya rekomendasikan buy on weakness saham-saham tersebut saat harga 2% lebih rendah dibandingkan penutupan kemarin,” ujarnya.

Pasalnya menurut Praska, IHSG cenderung terkoreksi hingga awal pekan depan mengingat sentimen penggeraknya belum ada. Meski asing net sell kemarin, justru jadi kesempatan untuk beli di level bawah. “Sebab, saat indek mengalami technical rebound, saham-saham ini yang bakal menguat terlebih dahulu,” imbuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar