Rabu, 28 September 2011

Inilah Kurs Ideal Para Analis

Medium
INILAH.COM, Jakarta – Anjloknya nilai tukar rupiah sebagai imbas memburuknya situasi eksternal, telah membawa sejumlah kekhawatiran di kalangan pelaku pasar. Berapa kisaran ideal untuk mata uang Indonesia ini?

Pengamat valas Nurul Eti Nurbaeti mengatakan, kurs ideal adalah bila rupiah tidak bergerak dalam rentang yang lebar. Hingga akhir tahun, ia memperkirakan mata uang ini akan bertengger di level 8.800-8.900 per dolar AS,”Namun, hari ini rupiah akan diperdagangkan di level 8.850-9.000 per dolar AS,” katanya.

Sementara pengamat valas Tony Prasetiantono memprediksi, rupiah akan segera menguat ke bawah level 9000. Namun, ia berharap, mata uang ini tidak menguat ke atas 8500. “Kisaran ideal untuk rupiah adalah di kisaran 8.500-8.700 per dolar AS,”ujarnya.

Adapun Lana Soelistianingsih dari Samuel Sekuritas mengatakan, BI masih akan menjaga stabilitas rupiah hingga akhir September. Hal ini didukung aset investasi Indonesia yang menarik, dengan spread imbal hasil SUN 10T dengan US T bond 10T yang melebar menjadi 552,5 bps. “Kami perkirakan rupiah akan bergerak di kisaran antara Rp8.800 -Rp9.100 per dolar AS,” katanya.

Nurul Eti menuturkan, rupiah bergerak dalam kisaran cukup lebar bulan ini, bahkan sempat melemah di atas 9000 per dolar AS. Hal ini mengindikasikan emerging market tidak kebal terhadap gejolak yang terjadi di pasar global, yakni krisis utang Eropa dan pelambatan ekonomi AS.

Isu Yunani terkait potensi gagal bayar masih menjadi isu dominan sentimen eksternal. Dana talangan yang sedianya dicairkan akhir September ini ditunda menjadi awal Oktober, karena Yunani belum dapat memenuhi target yang ditetapkan.“Isu eksternal ini tampaknya masih akan menganggu pasar domestik dan akan membuat gejolak di pasar keuangan hingga akhir September ini,” katanya.

Namun, fundamental domestik sebenarnya cukup kuat, dengan inflasi terkontrol dan pertumbuhan ekonomi terjaga. Hal ini dibuktikan dengan penguatan rupiah hingga ke level 8.500 per dolar AS.“Ini menunjukkan bahwa koreksi rupiah dipicu faktor eksternal,” imbuh Nurul.

Senada dengan Tony yang mengatakan, bahwa rupiah tertekan karena ketidak pastian penyelesaian utang di Eropa. “Namun , dengan adanya langkah bersama dari negara maju untuk meeredam krisis global berkepanjangan, sentimen negatif ini dapat ditekan,”ucapnya.

Sepanjang dua pekan terakhir, rupiah memang melemah cukup tajam akibat tekanan spekulan melalui transaksi non delivery forward (NDF). Mata uang ini sempat berada di level Rp9.350 per dolar AS, bahkan pada kurs NDF, rupiah sempat melesat ke Rp9.600.

Koreksi yang menyerang mata uang RI ini agak mereda, setelah Bank Indonesia melakukan intervensi. Seperti pekan lalu, dimana BI melakukan pembelian SUN senilai Rp1,7 triliun dari target indiaktif senilai Rp5 triliun. Saat ini, cadangan devisa Indonesia setara 7 bulan impor dan pembayaran utang LN, lebih baik ketimbang 2008 yang hanya cukup membiayai 4,7 bulan impor dan pembayaran utang LN

Pemerintah dan BI juga telah menyiapkan amunisi untuk krisis dengan 4 kebijakan, yaitu membeli kembali SUN dengan total dana senilai Rp3,2 triliun, meminta BUMN ikut membeli ketika harga turun dan menggunakan dana SILPA untuk mengatasi dampak krisis. Selain itu, BI juga melakukan pembelian SUN ketika mengintervensi valas.

Nurul Eti mengatakan, intervensi BI cukup membantu stabilitas rupiah, meski tekanan dari pasar NDF dan kanaikan Credit Default Swap (CDS) terus menjadi ancaman. “BI juga membeli obligasi negara dan memasok dolar ke pasar, sehingga gejolak agak teredam,” paparnya.

Sentimen positif lain berasal dari berhentinya tekanan jual asing. Selain oversubscriber lelang SUN yang menunjukkan tingginya minat investor terhadap SUN. Lihat saja tawaran yang masuk pada lelang kemarin mencapai Rp10,25 triliun, dua kali target yang dipasang pemerintah, yakni 5 triliun. Meskipun angka ini sebenarnya jauh lebih kecil dari tawaran dana pada lelang SUN sebelumnya, yang mencapai Rp20-25 triliun.

Dengan CDS Indonesia yang mencapai angka tertinggi, kepercayaan investor ternyata cukup bagus, karena mereka tidak mengejar yield yang terlalu tinggi. “Rasio yield atau harga terendah yang masuk, ternyata di bawah yield di pasar sekunder,”ungkapnya. [ast]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar