Kamis, 29 September 2011

Menaksir Harga Saham Timah

Menaksir Harga Saham Timah
INILAH.COM, Jakarta - Apa yang dikhawatirkan pelaku pasar, akhirnya, menjadi kenyataan. Harga timah di pasar dunia terus merosot hingga ke level US$ 20 ribu per ton. Bahkan, minggu lalu, sempat diperdagangkan pada level US$16 ribu per ton.

Inilah yang mendorong Gubernur Bangka Belitung, eskportir dan produsen sepakat untuk menghentikan sementara penjualan timah ke luar negeri. Dengan “istirahat ekspor’, yang akan dilakukan per 1 Oktober pekan ini, diharapkan harga akan kembali terkerek naik. Jika harga sudah kembali ke level wajar (minimal US$ 24.000 per ton), barulah keran ekspor akan dibuka kembali.

Strategi ini sengaja dipasang karena para pebisnis yakin, harga sengaja dipermainkan oleh para spekulan. Nah, dengan dikuranginya pasokan, diyakini harga akan segera kembali normal. Maklum, dengan volume ekspor yang mencapai 92.500 ton per tahun (2010), Indonesia termasuk ke dalam tiga besar produsen timah dunia.

Namun, di samping keuntungan berupa akan naiknya harga, langkah ini juga jelas menimbulkan risiko yang tidak kecil. Sebab, selama aksi ini dilakukan, pendapatan produsen dan eksportir dipastikan bakal terhenti sementara. Padahal, volume timah yang dijual ke pasar bebas cukup besar, yakni sekitar 37 ribu ton atau 40% dari total ekspor Indonesia.

Kemungkinan menurunnya volume penjualan ini, sebenarnya, sudah diperkirakan oleh para analis. Penjualan PT Timah pada semester II ini, misalnya, sejak awal sudah diprediksi bakal mengalami penurunan. “Laba bersihnya pun otomatis akan menciut,” kata seorang kepala riset.

Dengan kata lain di semester II ini mereka memprediksi pendapatan dan laba perseroan tidak akan sekinclong semester I. Sekadar mengingatkan, di enam bulan pertama tersebut, dengan harga jual rata-rata US$29.541 per ton, Timah berhasil membukukan pendapatan Rp4,8 triliun (naik 29%) dan laba bersih Rp689 miliar (meningkat 114%).

Nah, dengan semakin kentalnya ketidakpastian perekonomian di AS dan Eropa, plus pelambatan pertumbuhan di China, membuat harga komoditas ini bakal semakin tertekan. “Tapi dengan adanya penghentian ekspor sementara, diharapkan harga akan kembali naik, kendati kita harus mengorbankan volume,”kata sang analis.

Lantas bagaimana dengan sahamnya? Kendati pendapatannya dipastikan bakal menurun, sejumlah analis yang dihubungi INILAH.COM tetap memberikan rekomendasi beli untuk TINS. Pertimbangannya, harga yang terbentuk sekarang sudah sangat murah. Apalagi setelah terkoreksi Kamis (22/11) dan Senin (26/11) lalu

Mereka meramalkan dalam jangka pendek harga saham ini akan kembali ke atas level Rp 2.000. “Soalnya, secara fundamental, emiten ini tidak jelek,” katanya. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar