Selasa, 11 Oktober 2011

Kenali Risiko Reksadana Anda!

Headline
INILAH.COM, Jakarta – Cara bijak investasi adalah mengenal karakteristik risiko diri sendiri. Karena itu, kenali nyali risiko Anda, reksadana saham, pasar uang, campuran, terproteksi, atau pendapatan tetap.

Analis Infovesta Utama Edbert Suryajaya mengatakan, mana reksadana yang paling baik jadi pilihan saat ini sangat tergantung pada karakteristik risiko investor. Menurutnya, bagi penakut lebih baik memilih reksadana pendapatan tetap, terproteksi, campuran, atau reksadana pasar uang seperti deposito dan lain-lain.

Tapi, lanjutnya, bagi investor yang agresif dan terbiasa bermain di pasar saham, bisa memilih reksadana saham. Sebab, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ) saat ini sudah kembali ke atas 3.400. “Jadi sangat tergantung pada kesanggupan investor seberapa besar menanggung risikonya,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Sebagai lembaga riset pasar modal independen, PT Infovesta Utama mencatat data kinerja reksadana untuk periode 30 September hingga 7 Oktober 2011. Dari 81 jenis reksadana saham yang ada, mencatatkan penurunan return 3,8%.

Begitu juga dengan reksadana campuran. Dari 97 reksadana jenis ini mencatatkan penurunan kinerja 2,16%. Hanya reksadana pendapatan tetap yang mencatatkan kinerja positif. Dari 89 reksadana pendapatan tetap mencatatkan rata-rata return yang positif sebesar 0,25%.

Bagi yang berani mengambil risiko, kembali Edbert mengatakan, tinggal mencari timing masuknya yang tepat sesuai prediksi analis di pasar saham. “Jika nyali kecil,bahkan di saat pergerakan saham bagus, jangan masuk terlalu agresif,” timpal Edbert.

Begitu juga jika dana yang disimpan di reksadana untuk tujuan lain seperti sekolah anak. Menurutnya, dana jenis ini jangan disimpan pada reksadana saham karena akan berisiko, jika saat dana akan digunakan, ternyata nilainya justru turun. “Jadi, faktor karakteristik risiko merupakan pertimbangan utama dalam menentukan jenis reksadana apa yang akan diambil sekaligus kapan masuk dan kapan keluar,” paparnya.

Edbert menegaskan, pada dasarnya, berinvestasi adalah mengenali karakteristik risiko diri sendiri. Bagi yang menginginkan return menarik, bisa masuk di reksadana saham. Tapi, dia mengingatkan berinvestasi pada reksadana saham berbeda dengan bermain saham. “Reksadana saham tidak bisa menentukan valuasi fundamental atau teknikal untuk memproyeksikan ke mana arah saham,” ujarnya.

Reksadana saham sangat tergantung pada manajer investasinya (MI). Karena itu, meski saham sektor tertentu sedang bagus, belum tentu MI masuk pada saham-saham tersebut. Menurutnya, MI hanya bisa membuka posisinya ke publik 5-10 besar saham dari total portofolionya. “Karena itu, tidak bisa menentukan reksadana mana yang bagus,” timpalnya.

Ia menjelaskan, investor hanya bisa menganalisa data-data historis, untuk mendapatkan MI yang bagus sehingga bisa berharap MI memegang saham yang memberikan return yang positif.

Pada dasarnya, lanjut Edbert, untuk masuk reksadana saham, sama dengan masuk ke saham. Artinya, berinvestasi pada reksadana jenis ini tergantung pada situasi marketnya. “Untuk saat ini, reksadana saham arahnya masih volatile seiring ketidakpastian krisis utang di Eropa,” ungkapnya.

Isu perlambatan ekonomi AS belum selesai, sekarang muncul isu perlambatan ekonomi China karena negatifnya data manufaktur. Begitu juga dengan Bank Dunia yang merevisi turun pertumbuhan dunia. “Sekarang saatnya masuk reksadana saham, tapi masuk secara bertahap,” ucapnya.

“Investor bisa averaging baik naik ataupun turun tergantung situasinya, dimulai 10% dari total portofolio, lalu 10% lagi ke depanya. Tapi, jika dalam sebulan turun, jangan masuk dulu. Apalagi, reksadana tidak bisa keluar masuk seperti saham,” timpal dia.

Pasalnya, fee transaksi saham hanya 0,2-0,3% sedangkan reksadana baik fee beli maupun jual bisa mencapai 2%. “Penempatan di reksadana saham dengan tujuan untuk jangka panjang, tapi transaksinya sering seperti investor jangka pendek,” paparnya. “Bursa saham untuk jangka yang lebih panjang tetap positif outlooknya.”

Menurutnya, dana kelolaan reksadana yang paling besar saat ini adalah reksadana terproteksi dan reksadana saham sehingga diasumsikan kedua reksadana jenis ini paling banyak diminati. “Outlook reksadana saham sama dengan outlook IHSG,” tandasnya.

Sementara itu, untuk reksadana campuran, maksimal 80% di saham dan 20% pada obligasi. Lalu, bulan berikutnya bisa sebaliknya, obligasi 80% dan 20% saham. Sebab, batasannya menurut aturan seperti itu.

Sedangkan reksadana terproteksi sangat unik karena faktor pembagian dividen dan tidak terpengaruh oleh pergerakan pasar. Reksadana jenis ini hampir sama dengan membeli obligasi yang dipegang hingga jatuh tempo 2-3 tahun.

Dia menegaskan, selama penerbit obligasi masih kuat membayar kupon dan dana pokok kembali pada saat jatuh tempo, reksadana jenis ini juga menguntungkan. Selebihnya, investor bisa mendapatkan dividen dalam jangka 3 bulan atau 6 bulan (tergantung jenis obligasinya). “Satu-satunya risiko dalam reksadana jenis ini adalah jika emiten, mengalami gagal bayar. Itu saja!” imbuhnya. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar