Rabu, 21 September 2011

Pasar Uang Masih Membutuhkan Aspirin

Medium
INILAH.COM, Jakarta - Intervensi pasar yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dalam rangka menstabilkan nilai rupiah, tak ubahnya aspirin yang dipakai untuk meredam sakit kepala. Tidak menyembuhkan, tapi hanya menghilangkan sakit sejenak. Ketika efeknya sudah hilang, rasa sakit pun kembali berdenyut.

Itu pula yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar agak tertahan setelah BI melakukan intervensi pasar. Tetapi setelah itu rupiah kembali loyo. Masih seperti pekan lalu, sentimen negatif yang menimpa rupiah datang dari Benua Eropa.

Pasar khawatir terhadap buruknya penanganan krisis Eropa, sehingga investor jangka pendek ke luar dari Indonesia. Keadaan semakin mengkhawatirkan ketika pekan lalu BI menurunkan peraturan (PBI) yang mengharuskan hasil devisa disimpan di bank-bank dalam negeri.

Menurut para analis, PBI itu dibaca oleh pelaku pasar sebagai langkah untuk mengontrol devisa. “Akibatnya, orang lebih senang memegang dolar,” kata seorang analis Bank Mandiri.

Akibat penarikan itu, pekan lalu, cadangan devisa mencatat penurunan sebesar US$2 miliar menjadi tinggal US$122 miliar. Penurunan tersebut akibat pemakaian devisa oleh BI untuk mengintervensi pasar.

Betul, intervensi membuat penurunan nilai rupiah sedikit tertahan. Tapi setelah efek “aspirin” BI berkurang, rupiah pun kembali letoi. Selasa (20/9) kemarin dolar kembali menguat Rp92 menjadi Rp 8.985 per dolar. Itu sebabnya, dalam pandangan para analis, tak ada obat yang bisa membuat rupiah kembali berotot kecuali mengalirnya pasokan dolar dari brankas BI.

BI sendiri mengaku akan terus menjaga nilai tukar rupiah. “Bila diperlukan, BI akan melakukan intervensi untuk menjaga nilai tukar rupiah,” kata Hartadi Sarwono, Deputi Gubernur BI. Yang masih menjadi pertanyaan, seberapa lama BI mampu meladeni permintaan pasar terhadap dolar? [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar