Rabu, 30 November 2011

Harga obligasi berisiko turun tahun depan

JAKARTA. Harga obligasi sepanjang tahun ini cukup cemerlang. Di pasar domestik, harga surat utang terangkat. Namun analis memperkirakan, tren itu kemungkinan berubah di tahun depan, seiring dengan makin tingginya tingkat ketidakpastian ekonomi global.

Ezra Nazula, Head of Fixed Income Manulife Asset Management Indonesia, menuturkan, penyebab utama penurunan yield adalah laju inflasi yang terkendali serta pengguntingan bunga acuan hingga menjadi 6%, bulan ini. Untuk obligasi, penurunan yield berarti kenaikan harga.

Herdi Ranuwibowo, Head of Debt Capital Markets Trimegah Securities, menambahkan, imbal hasil alias yield obligasi selama tahun ini sudah menurun, terutama obligasi pemerintah. Penurunannya mencapai 2% untuk tenor di atas 15 tahun. Yield obligasi bertenor di bawah 15 tahun sudah turun 1,25%.

Harga obligasi juga terangkat oleh derasnya arus masuk dana ke pasar obligasi. Dana itu datang, baik dari dalam negeri, maupun dari luar negeri.

Kepemilikan asing di Surat Utang Negara (SUN) misalnya naik 12,08% menjadi Rp 219,42 triliun, sejak akhir 2010 hingga 25 November lalu. Sedangkan dana pemodal lokal di SUN naik 13,22%.

Menanjaknya harga obligasi, berimbas ke kinerja reksadana beraset dasar obligasi, seperti reksadana pendapatan tetap. Kenaikan harga aset dasar bisa mengungkit nilai aktiva bersih (NAB).

Tren bisa berbalik

Mengutip data lembaga pemeringkat reksadana, Infovesta, rata-rata imbal hasil alias return reksadana pendapatan tetap sepanjang tahun ini mencapai 9,97%. Namun, tren moleknya harga obligasi tahun ini berisiko berbalik akibat situasi perekonomian global yang diperkirakan makin fluktuatif tahun depan.

Omar S. Anwar, Presiden Direktur Trimegah Securities, menilai, para investor global masih cenderung melihat dan menunggu perkembangan konkret penyelesaian krisis Eropa. Faktor Eropa dan prospek keseluruhan perekonomian global akan menjadi penentu utama arah pasar obligasi ke depan.

Nah, dampak dari ketidakpastian tersebut bisa menjalar ke pasar keuangan domestik, termasuk pasar obligasi. Herdi menilai, ada risiko mengalir keluarnya dana asing di pasar keuangan Indonesia, baik di pasar ekuitas maupun surat utang. "Investor akan lebih banyak mengamankan aset dalam bentuk uang tunai," katanya.

Helmi Arman, analis Citi Indonesia, memprediksi, obligasi pemerintah yang memiliki tenor panjang, di atas 10 tahun, merupakan obligasi yang paling berisiko mengalami tekanan harga di tahun depan. Sedang harga obligasi pemerintah dengan jangka waktu pendek, diproyeksikan akan relatif stabil. Pasalnya, investor perbankan masih banyak yang berburu obligasi tenor pendek.

I Made Adi Saputra, analis NC Securities, memperkirakan, penurunan harga obligasi selama tahun depan bisa berkisar 20-30 basis poin seiring kenaikan premi risiko. "Namun, penurunannya bisa sedikit teredam jika inflasi kita terjaga dan bunga acuan rendah," imbuh Helmi Therik, analis AAA Securities.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar