Selasa, 01 November 2011

IHSG Akan Alami Reli Palsu?

Headline
INILAH.COM, Jakarta – Setelah menguat empat hari berturut-turut, IHSG kemarin ditutup di zona merah. Namun, indeks saham lokal ini diyakini akan melanjutkan reli, terdongkrak laporan kinerja emiten yang positif. Benarkah penguatan ini merupakan alamat palsu?

Yuganur Widjanarko dari HD Capital mengatakan, walaupun regional dan IHSG terbawa oleh sentimen positif laporan keuangan dan penyelesaian sementara krisis Yunani, namun secara keseluruhan tren pertumbuhan global masih melemah.

Ia pun mengkhawatirkan akan terjadinya long fund, dimana dana yang mempunyai horizon 12 bulan, akan keluar dan pindah ke aset bebas risiko (risk free asset) yang berdenominasi dolar AS. Apalagi sudah sebulan rupiah di atas Rp.8.500, sehingga kebanyakan asumsi ekononomi dan fundamental model proyeksi earnings dapat berubah.

Yuga pun menyarankan investor untuk mewaspadai reversal turun. Terutama mengingat valuasi PER 2012 IHSG saat ini cukup mahal, mencapai 13 kali, di atas regional Asia yang rata-rata 9-10 kali.

Selain return year on year di atas 5%, beberapa sektor juga sudah terlampau mahal, seperti properti yang bermain di PER 2012 15 kali, “Biasanya bila sektor tersebut bermain diatas PER IHSG maka siklus reversal turun akan terjadi,”ujarnya.

Menurutnya, Bank Eropa yang asetnya rugi 10% atas haircut Yunani 50%, mempunyai opsi mencari dana di luar atau diberikan pinjaman dari Bank Sentral Euro melalu bond rasing untuk recap dana. Diperkirakan mereka akan memilih opsi pertama, yaitu mencari dana di luar dengan menjual aset di Asia terutama Indonesia yang relatif masih profit.

“IHSG pun berpotensi breakdown dari formasi rising wedge daily, hingga target 3.350 dalam tiga pekan ke depan,”ujarnya. Yuga juga melihat, bahwa dengan kondisi AS mulai membaik, dana-dana akan ‘pulang kandang’.

Dari data-data yang dirilis, ekonomi AS memang tampak mulai pulih. Seperti data year on year GDP actual 2,6% ketimbang konsensus sebesar 2,2% dan unemployment yang turun dari 9,3 ke 9,1%.

Sayangnya, imbuh Yuga, secara teori cara yang paling cepat untuk investasi jumlah besar di suatu negara adalah melalui mata uangnya, dalam kasus ini dolar AS atau T bonds. Dengan rate AS sebesar 0,25%, berarti terbuka peluang besar bagi AS untuk menaikan suku bunga dan memperkuat mata uangnya. Bila dolar menguat, maka harga komoditas turun, terutama emas dan minyak.

Komoditas yang tinggi membuat inflasi AS secara yoy naik dari 3,5 ke 3,8%, sehingga angka ini perlu diturunkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Amerika dengan Asia, “Terutama Indonesia yang terkorelasi positif terhadap komoditas sebagai korban,” tutupnya.

Berbeda dengan pengamat pasar modal Syaiful Adrian. Menurutnya, pembalikan dana investor asing ke emerging market masih akan besar. Pasalnya, meski sudah ada solusi penyelesaian krisis Eropa dan default Yunani, namun imbal hasil di negara maju masih sangat rendah dibanding Emerging market.

“Apalagi jika melihat perbandingan pertumbuhan GDP, dimana GDP Eropa dan Amerika masih tumbuh di bawah 3%, sedang emerging market tumbuh rata-rata 7%,”katanya.

Senada dengan Norico Gaman, Kepala riset BNI Securities. Menurutnya, pasar keuangan emerging market terutama Indonesia masih akan jadi tujuan utama investor asing. Hal ini didukung posisi Ri yang selangkah lagi menuju investment grade., “Kita makin mernarik karena pamor Eropa dan AS turun,”ujarnya.

Ia menilai, situasi ekonomi dalam negeri cukup menggiurkan, dengan fundamental yang bagus dan defensif. Kemudian cadangan devisa cukup besar mencapai US$100 miliar dan kinerja emiten yang memuaskan. “Pertumbuhan ekonomi RI diperkirakan 6,5% tahun, angka yang cukup tinggi untuk emerging market,”katanya. [ast]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar