Senin, 26 September 2011

Apa Kabar Saham CPO & Batu Bara?

Apa Kabar Saham CPO & Batu Bara?
INILAH.COM, Jakarta – Saham-saham sektor CPO dan batu bara berpotensi rebound pada November 2011. Saatnya akumulasi bertahap pada emiten dengan pendapatan berkesinambungan hingga lima tahun ke depan!

Wakil Kepala Riset Valbury Asia Securities Nico Omer Jonckheere mengatakan, pelemahan saham-saham di sektor perkebunan dan pertambangan batu bara tidak terlepas dari kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ) yang secara umum anjlok.

Menurutnya, bursa melemah secara signifikan hingga hampir 9% pada Kamis (22/9), semua saham pun terkoreksi. Di sisi lain, lanjutnya, koreksi pada sektor perkebunan dan pertambangan, juga merefleksikan harga penurunan komoditas. “Sebab, harga minyak pun sideways antara US$75 hingga US$90 per barel dalalm beberapa bulan terakhir,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Jumat (23/9).

Pada perdagangan Jumat (23/9), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ) ditutup menguat 57,203 poin (1,69%) ke level 3.426,346, dengan intraday tertinggi di 3.426,82 dan terendah di level 3.258,37. Saham-saham sektor perkebunan masih melemah 0,31% dan pertambangan minus 0,43%.

Begitu juga harga Crude Palm Oil (CPO) yang melandai karena memasuki musim panen. Berdasarkan harga di Malaysia, CPO turun RM17 (0,56%) ke level RM2992 atau US$943 per ton. “Karena itu wajar, jika harga sahamnya tidak banyak bergerak. Suplai meningkat, sementara demand tidak bertambah, sudah jadi hukum pasar, harganya turun,” ujarnya.

Apalagi, saat minyak turun harga CPO pun turun karena komoditas ini merupakan salah satu produk derivatif. “Semua itu berpangkal pada penguatan dolar AS yang memastikan semua komoditas melemah,” tandas Nico.

Namun demikian, menurut Nico, kedua sektor ini potensial rebound pada November 2011. Sebab, Bank Sentral AS kemungkinan akan menggulirkan Quantitative Easing (QE) ketiga pada bulan tersebut. Akibatnya, semua harga komoditas naik baik minyak, CPO, batu bara maupun komoditas lainnya.

Saat itu, lanjutnya, likuiditas dolar AS bakal kembali melimpah sehingga harga minyak terkerek naik. Karena itu, dalam enam bulan ke depan, Nico memperkirakan, harga minyak bisa kembali naik ke atas US$100 per barel. “Tapi, selama musim panen, harga CPO berpeluang sideways antara US$900-1.200 di Roterdam,” tutur Nico.

Karena itu, dia menyarankan agar pasar memperhatikan momentum akhir Oktober atau awal November. Jika saat itu ada rumor The Fed akan menggulirkan QE ketiga, harga komoditas akan naik lebih awal. “Dimulai dari kenaikan harga minyak lalu disusul batu bara dan CPO dan komoditas lainnya,” papar dia.

Lebih jauh dia menjelaskan, secara nilai, harga CPO dan batu bara sudah naik signifkan dibandingkan tahun lalu. Sebab, saat krisis 2008-2009 semua harga komoditas benar-benar anjlok. Harga saat ini, sudah jauh di atas itu. “Karena itu, dalam laporan keuangan emiten pada kedua sektor ini bakal terefleksi positif,” ucap Nico.

Lalu, dari sisi ekspor pun menurutnya, kedua sektor ini tidak terlalu terpengaruh oleh isu perlambatan global yang dimotori oleh AS dan Eropa. Sebab, CPO merupakan bahan dasar makanan dan bukan produk yang tergantung pada siklus ekonomi. “Sebab, dalam situasi resesi, orang tetap makan,” timpalnya.

Begitu juga dengan batu bara yang diperuntukkan energi listrik. Batu bara Indonesia lebih banyak dikonsumsi di Asia. Berkaca pada 2008, walaupun resesi, komoditas Indonesia tetap booming. “Permintaan batu bara dari China dan India tetap tumbuh,” tandas Nico.

Sejauh ini, ekspor batu bara Indonesia yang terbesar ke China begitu juga dengan CPO. Tapi, untuk batu bara, India lebih prospektif ke depannya. “Sebab, saat ini India banyak sekali membangun pembangkit listrik berbasis batu bara,” paparnya.

Dia menegaskan, dari sisi perlambatan global, kedua sektor ini tidak terlalu terpukul. Berkaca pada 1970-an, saat ekonomi global stagnan dan AS hampir tidak tumbuh sama sekali, harga komoditas terus naik. Karena defisit fiskal besar, pemerintah AS terus mencetak uang. “Sekarang pun fenomenanya sama. Saya pikir, harga komoditas tetap akan kinclong,” kata Nico optimistis.

Dihubungi terpisah, analis Infovesta Utama Praska Putrantyo mengungkapkan pandangan lain. Praska mengaku belum berani memberi rekomendasi positif saham-saham di sektor batu bara dan CPO. Sebab, dalam situasi perlambatan ekonomi global, kedua sektor ini justru yang paling terdampak negatif.

Karena itu, menurut Praska, investor lebih baik menghindari saham-saham yang terkait langsung dengan kebutuhan perdagangan internasional seperti CPO, pertambangan batu bara dan logam. Apalagi, harga komoditas saat ini sedang jatuh.

Menurutnya, saham-saham perkebunan dan tambang masih memiliki potensi pelemahan meski pekan lalu sudah rotok. “Tak satu pun saham CPO dan tambang saya rekomendasikan. Sebab, demand dari AS dan Eropa pasti berkurang,” tandasnya. “Lebih baik, investor melirik saham-saham berbasis domestic demand terutama infrastruktur yang bisa mengembalikan kepercayaan diri pasar.”

Di atas semua itu, Nico Omer kembali mengatakan, saat ini menjadi saat tepat untuk mengakumulasi bertahap saham-saham di sektor batu bara dan CPO terutama pada saham-saham yang secara fundamental memiliki potensi kenaikan laba bersih (earnings sustainability) dalam rentang lima tahun ke depan.

Pembelian dengan mencicil. Dari dana Rp100 juta bisa dicicil Rp10 juta dalam 10 kali pembelian. “Jangan sekaligus. Sebab, IHSG memiliki probabilitas turun lebih jauh ke level support 3.000,” kata Nico wanti-wanti.

Saham-saham pilihannya adalah PT Bukit Asam (PTBA) dengan target Rp28.450, PT Berau Coal Energy (BRAU) dengan target Rp1.170, PT BW Plantation (BWPT) dengan target Rp1.600 dan PT Tunas Baru Lampung (TBLA) dengan target di level Rp1.480. “Saya rekomendasikan buy on extreme weakness saham-saham tersebut hingga target tercapai dalam 12 bulan ke depan,” ujar dia.

Sementara untuk PT Bumi Resources (BUMI) dan PT Adaro Energy (ADRO) disarankan dihindari. Sebab, utang dalam denominasi dolar AS kedua emiten itu sangat besar. Meski rupiah terus diintervensi oleh Bank Indonesia, investor tetap harus hati-hati. “Setiap sesi sore jelang penutupan, BI memastikan rupiah berada di bawah 9.000,” ungkap dia. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar