Senin, 03 Oktober 2011

Resesi makin nyata, minyak kian lemah

Resesi makin nyata, minyak kian lemah
JAKARTA. Banderol minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) terpuruk ke posisi terendah sepanjang tahun 2011. Menutup pekan lalu, minyak WTI untuk pengiriman November 2011 di bursa New York terjatuh di harga US$ 79,2 per barrel. Sementara minyak jenis Brent tergerus 1,1% ke posisi US$ 102,76 per barrel.

Data perekonomian negara-negara berukuran ekonomi besar telah mengecewakan pasar. Indeks pembelian manajer atau purchashing manager index (PMI) di China turun tiga bulan berturut-turut. Di saat yang sama, penjualan ritel di Jerman juga menurun.

Sementara belanja konsumen di Amerika Serikat melambat. "Kita mendapati data-data ekonomi yang mengecewakan," kata Gene McGillian, analis dan broker Tradition Energy AS, seperti dikutip Bloomberg, Sabtu (1/10).

Sinyal pelambatan ekonomi di China dan AS otomatis memukul harga komoditas energi ini. Pasalnya, dua negara besar tersebut saat ini tercatat sebagai konsumen minyak terbesar di dunia. "Ada risiko pelemahan permintaan China," kata Eugen Weinberg, Head of Commodities Research Commerzbank AG Frankfurt.

Data dari AS tak kalah suram. Departemen Energi AS mengungkapkan, permintaan rata-rata bahan bakar hingga 23 September lalu telah turun 0,6% menjadi 19 juta barel per hari. Sementara itu tingkat belanja konsumen di bulan Agustus hanya naik 0,2%, lebih rendah dibanding peningkatan Juli yang sebesar 0,7.

Data manufaktur dan PMI juga turun. "Tanda-tanda resesi meningkat dan ini artinya permintaan akan melemah," imbuh John Kilduff, analis Again Capital LLC.

Produksi minyak moncer

Di saat yang sama, produksi minyak organisasi negara-negara penghasil minyak (OPEC) justru naik, bulan lalu. Bahkan volumenya tercatat sebagai yang tertinggi sejak November 2008.

Iran misalnya, mencatat kenaikan 3,4% produksi minyak menjadi 2,77 juta barrel. Sementara produksi minyak Libya dan Angola juga naik masing-masing 55 ribu barrel dan 40 ribu barrel per hari. Sedangkan Uni Emirat Arab dan Kuwait mencatat kenaikan produksi minyak 15 ribu barrel per hari.
"Kembalinya produksi minyak mentah serta ekonomi yang melemah berdampak besar pada keseimbangan pasokan-permintaan selama kuartal IV ini," ujar Michael Lynch, President of Strategic Energy & Economic Research Massachussets AS.

Dalam jangka panjang, perekonomian global diperkirakan masih akan lesu. Mayoritas analis memperkirakan harga minyak masih belum memiliki otot untuk bangkit. Sebanyak 13 dari 28 analis yang disurvei Bloomberg memprediksi harga minyak masih akan jatuh pekan ini. Sedangkan delapan analis memperkirakan harga akan tetap, sisanya masih optimis banderol minyak bisa naik.

Ariston Tjendra, Kepala Riset Monex Investindo Futures, menuturkan, harga minyak sulit naik kembali melihat data-data ekonomi terakhir.
Apalagi, hiruk pikuk krisis Eropa masih belum mendapatkan solusi yang jelas. "Ini sentimen negatif bagi perekonomian dan permintaan minyak," tambah Ariston.

Titik support minyak yang terdekat ada di level US$ 75 per barrel. Jika level itu tersentuh, minyak bisa makin meluncur turun ke posisi US$ 70 per barel.

Wahyu T Laksono, Kepala Riset Real Time Futures, malah memiliki prediksi lebih pesimis terkait harga emas hitam ini. Dalam hitungannya, minyak berpotensi merosot ke level US$ 60 per barrel bulan ini atau November nanti.

Asumsi Wahyu, secara fundamental resesi ekonomi berkorelasi dengan harga minyak. Publik tentu masih ingat terjadinya krisis tahun 2008 ketika minyak ambles hingga di harga US$ 40 per barrel. "Bukan tidak mungkin itu terjadi lagi," tandasnya.

Kendati demikian, dia masih optimis harga minyak mampu kembali bangkit di akhir tahun nanti. "Minyak masih bisa ditutup di kisaran US$ 80-90 per barrel, akhir tahun ini," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar