Jumat, 08 Juli 2011

Pemegang obligasi protes Gajah Tunggal

Pemegang obligasi protes Gajah Tunggal
JAKARTA. Gara-gara membagi dividen ke pemegang saham, PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) harus berurusan dengan pemegang obligasinya. Pemegang obligasi restrukturisasi yang diterbitkan GJTL 2009 silam menganggap produsen ban ini telah melanggar perjanjian obligasi.

Dalam riset yang dirilis Deutsche Bank pada 5 Juli lalu disebutkan, salah satu pemegang obligasi menilai pembagian dividen tidak sesuai dengan kesepakatan yang dibuat saat GJTL menerbitkan obligasi restrukturisasi.

Pasalnya, berdasarkan perjanjian obligasi, GJTL tidak boleh membagi dividen sebelum waktu interest step up atau waktu kenaikan bunga, yakni Juli 2011. Setelah itu, GJTL boleh membagi dividen, namun jumlahnya tidak boleh lebih dari US$ 20 juta.

Pengecualian untuk perjanjian itu adalah bila hukum Indonesia mewajibkan pembagian dividen. Meski begitu, dividen yang dibagi tidak boleh melebihi US$ 20 juta.

Pemegang obligasi ini membentuk kelompok yang mewakili 25% pemegang obligasi. Kelompok ini mendesak obligasi GJTL dinyatakan default dan meminta pembayaran obligasi dipercepat.

Standard & Poors (S&P) juga menempatkan surat utang GJTL dalam status Credit Watch dengan implikasi negatif. Xavier Jean, analis S&P menilai, potensi pelanggaran kesepakatan tersebut akan membuat likuiditas produsen ban ini melemah.

Tapi GJTL menyangkal mereka melanggar kesepakatan. "Pemegang obligasi dengan jumlah lebih besar menyesalkan langkah yang diambil kelompok tersebut dan tetap mendukung manajemen," sebut Miquel Staal, Senior Department Head of Investor Relations GJTL melalui keterangan tertulis, Kamis (7/7).

Sedikit catatan, GJTL membagi dividen sebesar Rp 12 per saham atau Rp 42 miliar (sekitar US$ 4,9 juta) pada 30 Juni lalu. Jumlah tersebut setara dengan 5,03% laba bersih GJTL untuk 2010 yang mencapai Rp 830,62 miliar.

Gara-gara hal ini, lembaga pemeringkat surat utang dunia, Standard & Poor\'s, akan mempertimbangkan untuk menurunkan rating atas surat hutang GJTL. Saat ini oleh Standard & Poor\'s, surat hutang GJTL dinilai memiliki kualitas "B".

Menurut Standard & Poors, bila GJTL membayar dividennya sebelum tanggal pembayaran bunga obligasi, maka bunga obligasinya akan dinaikan darti 5% menjadi 6%. "Kita perlu kejelasan lebih lanjut pada apakah tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap perjanjian," kata Xavier Jean, analis kredit Standard & Poor\'s.

Hanya saja Standard & Poor\'s percaya kalau likuiditas GJTL cukup untuk membayar hutang pokok dan kupon yang mencapai sekitar Rp 185 miliar atas seluruh obligasinya yang diterbitkan tahun 2009.

Hal itu mengingat saldo kas perusahaan per 31 maret 2011 sebesar Rp 466 miliar. Hingga saat ini, belum ada tanggapan dari pihak GJTL. Ketika dihubungi oleh KONTAN kemarin, (7/7), Chaterina Widjaja belum memberikan jawabannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar