Selasa, 05 Juli 2011

Kredit Macet China Perparah Profit Taking Market

Headline
INILAH.COM, Jakarta – Kurs rupiah dan indeks saham domestik kompak melemah. Kredit macet China yang diperkirakan Moody’s lebih tinggi dari ekspektasi, turut memperparah aksi profit taking.

Periset dan analis senior PT Monex Investindo Futures mengatakan, pelemahan rupiah hari ini salah satunya dipicu oleh aksi profit taking mengingat rupiah sudah menguat tajam dalam empat sesi terakhir. Kondisi itu, juga beriringan dengan sentimen negatif sejak pembukaan market sesi Asia hingga penutupan.

Salah satunya, adalah pernyataan dari lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor's Rating Service (S&P) kemarin yang rencana rollover obligasi Yunani masuk kategori selective default. Kondisi itu menjadi sentimen negatif bagi euro. "Karena itu, sepanjang perdagangan rupiah mencapai level terlemahnya 8.543 dan terkuatnya 8.525 per dolar AS,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Selasa (5/6).

Kurs rupiah di pasar spot valas antar bank Jakarta, Selasa (5/7) ditutup melemah 16 poin (0,18%) ke level 8.535/8.540 per dolar AS dari posisi kemarin 8.519/8.529.

Keadaan itu, lanjutnya, diperparah oleh Lembaga Pemeringkat Moody's yang menyatakan, potensi kredit macet China akan lebih tinggi daripada ekspektasi pasar. "Moody's menyebutkan potensi kredit macet China mencapai 3,5 triliun yuan," ujarnya.

Padahal, kredit macet China diekspektasikan hanya 8-10% atau 800 miliar yuan dari total kredit 8,5 trilun yuan. Pasar membaca, China merupakan negara berkembang yang pengumpulan datanya amburadul termasuk juga data kredit macet. "Karena itu, data yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak mencerminkan yang sebenarnya," ungkapnya.

Sementara itu, lanjut Firman, Moody's mendapatkan datanya langsung dari institusi keuangan. Akibatnya, market lebih percaya terhadap Moody's daripada data pemerintah sehingga sentimennya sangat negatif bagi yuan karena Gross Domestic PRoduct (GDP) China diperkirakan terganggu. "Tapi, selama China bisa tumbuh 9-10% (year on year), kredit macet itu bisa ditambal dari pendapatan pajak," ungkapnya.

Namun, rupiah mendapat tekanan bertubi-tubi, karena sentimen China diperberat oleh Bank Sentral Australia (RBA) yang memangkas penilaian ekonominya. "Itu jadi sentimen negatif bagi dolar Australia sehingga semakin memperkuat posisi dolar AS dan sekalgus jadi tekanan bagi rupiah," imbuhnya.

Alhasil, dolar AS menguat terhadap mayoritas mata uang utama termasuk terhadap euro (mata uang gabungan negara-negara Eropa). "Terhadap eeuro, dolar AS menguat ke level US$1,4476 dari sebelumnya US$1,4540 per euro," imbuhnya.

Dari bursa saham, analis Panin Securities Purwoko Sartono mengatakan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ) sebesar 29,39 poin (0,74%) ke level 3.924,127 hari ini dipicu oleh profit taking setelah rally yang signifikan dalam tiga hari terakhir. Menurutnya, saham-saham bluechip yang sejauh ini menjadi pendorong pergerakan market sudah jenuh beli (overbought).

Dia menegaskan, koreksi indeks, semata faktor profit taking dan bukan alasan fundamental. Apalagi, pergerakan bursa regional juga bergerak variatif dan cenderung melemah tipis. “Jadi, market secara global dan regional juga variatif. Terlebih lagi, setelah bursa AS kemarin libur,” tuturnya.[ast]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar