Jumat, 24 Juni 2011

Limit Utang AS Bisa Picu Wall Street 'Berdarah'

Headline
INILAH.COM, Jakarta – Jika parlemen AS tak kunjung setuju atas kenaikan limit utang AS hingga 2 Agustus 2011, Wall Street bakal ‘berdarah-darah’. Sebab, AS sudah mengalami technical default (gagal bayar teknikal).

Pengamat ekonomi David Sumual yakin Amerika Serikat akan memasuki stimulus lanjutan seperti Quantitative Easing (QE) tahap ketiga jika Wall Street terutama Dow Jones kembali rontok ke bawah 10.000 dari level 12.000-an saat ini. Namun menurutnya, Bank Sentral AS The Fed akan memilih nama lain di luar QE akibat buruknya citra kebijakan itu pada tahap pertama dan kedua.

Sebaliknya, lanjut David, jika bursa saham tidak memberikan sinyal negatif, AS akan tetap mempertahankan suku bunga rendah 0-0,25% dan moneter longgar (easy monetary policy). “Sebab, sejauh ini, indikator ekonomi AS belum mengalami perbaikan terutama sektor perumahan, tenaga kerja dan AS juga bermasalah dari sisi utang,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Kamis (23/6).

Gubernur Bank Sentral AS The Fed Ben Bernanke Kamis (23/6) dinihari, menyatakan, perlambatan ekonomi AS di bawah ekspektasi, lebih lambat dibandingkan perkiraan. The Fed juga merevisi negatif target pertumbuhan ekonomi AS untuk 2011 dari 3,1%-3,3% menjadi 2,7%-2,9%. Pada saat yang sama, The Fed belum memberikan sinyal akan adanya stimulus lanjutan setelah QE tahap dua senilai US$600 miliar berakhir Juni 2011 ini.

David kembali mengatakan, defisit anggaran AS membengkak 15,7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam enam bulan pertama tahun fiskal 2011. Menurutnya, pada 2 Agustus 2011, merupakan deadline untuk meningkatkan batas atas utang AS dari level US$14,3 triliun ke level US$16,5 triliun atau naik US$2,2 triliun. Tujuannya untuk menutupi defisitnya itu.

Angka limit utang AS juga terus naik dari sebelumnya US$10 triliunan seiring defisit fiskal yang terus tinggi. Setelah 2 Agustus, banyak utang AS yang jatuh tempo. Belum lagi, biaya-biaya rutin untuk membayar pegawai agar sistem pemerintahannya berjalan. “Negosiasi pemerintah AS dengan parlemen, deadline-nya awal Agustus itu,” ungkap David.

Karena itu, risikonya sangat besar, jika parlemen tidak menyetujui kenaikan limit tersebut. Akibatnya, AS akan menggunakan budget anggaran yang lama. Otomatis, ini juga berarti secara teknikal, AS mengalami default (technical default). “AS tidak bisa membayar kewajiban obligasinya yang sudah jatuh tempo,” paparnya.

Dia menegaskan, default secara teknikal karena uangnya sebenarnya ada. Hanya saja, yang bahaya adalah sentimen kepercayaan di pasar modal yang otomatis goyang. Sebab, itu juga akan diikuti oleh downgrade rating utang AS oleh berbagai lembaga pemeringkat.

Apalagi, ditegaskan David, outlook ekonomi AS sudah diturunkan ke level negatif oleh Standard and Poor’s Rating Service sehingga prospek ke depannya bisa di-downgrade. “Jika mengalami technical default, AS akan meminjam dana yang ongkosnya akan lebih mahal karena naiknya risiko akibat downgrade itu,” tandas David.

Karena itu suku bunga obligasi pemerintah AS pun akan naik dan kepercayaan di pasar akan jatuh. Kejadian semacam ini sebenarnya bisa saja temporer seperti di 2008 ketika Wall Street jatuh akibat parlemen tidak menyetujui bailout. “Setelah negosiasi, akhirya disetujui sehingga market pulih, walaupun sempat berdarah-darah,” paparnya.

Kejadian serupa, imbuh David, akan terjadi jika parlemen AS tidak menyetuju kenaikan limit utang tersebut. Lalu, pemerintah AS akan menegosiasi kepada parlemen untuk melakukan penghematan fiskal yang size-nya akan mirip dengan limit utang yang baru.

Penyebab utama bengkaknya budget defisit AS, menurut David adalah perang Irak dan Afganistan. Di sisi lain, jaminan sosial yang jatuh tempo sangat besar. Sebab, penduduk AS yang booming tahun 70-an sudah mulai tua. “Karena itu, beban utang AS menjadi besar,” paparnya.

Karena itu, The Fed mempertahankan kebijakan moneter longgar dan masih membeli utang pemerintah AS dalam QE 2 senilai US$600 miliar. Rasio utang AS sendiri saat ini sebesar US$14,3 triliun atau 98,62% terhadap PDB sebesar US$14,5 triliun. Artinya, ekonomi AS hanya cukup untuk bayar utang.

Memang dibandingkan rasio utang Jepang yang 200%, rasio utang AS jauh lebih kecil. Tapi, utang Jepang berasal dari lembaga-lembaga dalam negeri seperti dana pensiun dan asuransi. Sementara utang AS mayoritas berasal dari luar negeri sperti China dan Jepang. Hanya setelah krisis 2008, utang AS beralih ke The Fed berupa QE.

Di atas semua itu, David menyimpulkan, secara global ekonomi dunia bermasalah. Eropa bermasalah dengan krisis utang di Yunani, Jepang dengan tsunami dan AS bermasalah dengan rasio utangnya. “Jadi, ini semacam ugly contest, berlomba dalam keburukan,” imbuh David. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar