Kamis, 22 September 2011

Mengintip Pergerakan Rupiah Hari Ini

Headline
INILAH.COM, Jakarta – Sentimen negatif di pasar valas dari eksternal dan domestik masih akan berlanjut, dan memicu berlanjutnya penguatan dolar AS atas mata uang rupiah. Bagaimana prediksi analis?

Nico Omer Jonkheere dari Valbury Asia Securities mengatakan, situasi pasar keuangan saat ini masih dipenuhi kekhawatiran kelangkaan dolar AS, yang menyebabkan deleveraging (pengurangan alokasi dana di aset non dolar) masif dilakukan investor. “Apalagi setelah surat utang Italia juga didowngrade oleh lembaga rating,” katanya kepada INILAH.COM.

Senada dengan Lana Soelistianingsih dari Samuel Sekuritas yang memprediksikan, pemangkasan peringkat utang Italia membuat pasar global terpuruk, dan hal ini akan berimbas ke pasar Asia,”Alhasil, koreksi terhadap rupiah masih akan berlanjut hari ini, “katanya.

Seperti diketahui, S&P memangkas peringkat utang Italia dari A+ menjadi A dan menurunkan outlook menjadi negatif, dengan pertimbangan pelemahan ekonomi global dan pemerintahan yang rentan di Italia. S&P juga menurunkan target pertumbuhan ekonomi Italia dari 1,3% menjadi 0,7% untuk 2011 hingga 2014.

Menurut Lana, perlambatan ekonomi ini akan membuat pemerintah Italia mengalami kesulitan fiskal, dan target defisit anggaran tidak mudah tercapai. Italia diperkirakan mempunyai kewajiban utang jatuh tempo pada September senilai 14,5 miliar euro. “Keputusan S&P ini membuat pasar global turun. Indeks Dow dan harga minyak mentah turun, dan investor kembali membeli obligasi AS 10T sebagai aset yang dianggap aman,” katanya.

Lana memperkirakan, rupiah sebenarnya bisa menembus kembali level Rp9.000, “Tetapi untuk hari ini kemungkinan akan ada intervensi yang bisa menahan rupiah berada di kisaran antara Rp8.860 hingga Rp8.900 per dolar AS,” ucapnya.

Nico menambahkan, deleveraging yang memukul nilai tukar rupiah, menyebabkan mata uang RI di pasar forward NDF mencapai 9.300. Kondisi ini dibarengi naiknya CDS Indonesia hingga di atas 200 basis poin untuk pertama kalinya. “CDS yang spike/naik dengan cepat ini menggambarkan potensi default Indonesia yang meningkat,” ujarnya.

Nico pun menilai, pasar akan menunggu upaya yang dilakukan negara-negara Eropa dan bank sentral Eropa untuk menambah likuiditas ke perbankan kawasan. Sementara harapan The Fed akan luncurkan pasokan likuiditas melalui program QE3 tampaknya tidak akan terealisir dalam waktu dekat, “Selain belum ada alasan kuat untuk stimulus itu, saat ini semua dana beralih ke dolar AS sebagai safe haven,” paparnya.

Adapun langkah Fed menambah likuiditas untuk mempertahankan tingkat suku bunga dolar AS yang rendah pun diyakini akan sia-sia. Terutama saat investor tidak lagi peduli berapa yield di dolar, “Karena prioritas mereka saat ini adalah mencari aset paling aman untuk menyimpan dana, yaitu di mata uang AS tersebut.”

Pasar Asia kemarin kembali mendapat tekanan, sehingga nilai tukar Asia ikut melemah. Lihat saja mata uang RI dan won yang anjlok tajam di antara mata uang kawasan. Rupiah ditutup di Rp8.893 per dolar AS (kurs tengah Bloomberg). Begitupun indeks Asia, termasuk IHSG, yang turun 2,09% menjadi 3.755,05.

Sementara Credit Suisse menilai, koreksi terhadap rupiah juga terjadi, menyusul intervensi bank sentral Indonesia. Fluktuasi rupiah awalnya hanya disebabkan aksi switching investor ke aset safe haven dolar AS. Namun, hal ini diperburuk langkah BI yang kemungkinan menurunkan suku bunga BI rate dan aksi BI memperlebar koridor bawah BI rate saat tekanan inflasi mulai meningkat.

“Jika suku bunga jadi diturunkan, maka koreksi di pasar obligasi dan valas akan terjadi lagi, bahkan bisa mengulang situasi panik jual seperti bulan Februari 2011 lalu, “ujarnya.

Dijelaskan, bahwa BI mematok BI rate 6,75 % selama 6 bulan berturut-turut hingga September 2011, dan melakukan pelebaran batas bawah koridor hingga 50 bsp. Sementara itu, ada rencana penurunan suku bunga. Padahal inflasi sudah mulai merambat naik dalam 3 bulan terakhir, diperkirakan April 2012, headline inflasi akan mencapai 7 %, sedang inflasi 2011 diperkirakan mencapai 6.5 %, dengan target di bawah 6%. “Dengan situasi ini maka bukan tidak mungkin BI akan kembali menaikkan suku bunga lagi,”paparnya.

Credit Suisse menilai BI terlalu percaya diri, menganggap tekanan inflasi relatif bisa dikendalikan sehingga BI berani menurunkan batas bawah koridor BI rate. Padahal hal ini dilakukan hanya untuk menstimulasi transaksi di pasar uang karena masih tingginya supply likuiditas dolar AS, dan menghindarkan transaksi pasar uang antar bank mengalami kekeringan likuiditas akibat shock di pasar Amerika dan Eropa. “Sesungguhnya resiko peningkatan inflasi jauh lebih besar terjadi di Indonesia.” [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar