Senin, 23 Mei 2011

Inilah yang Membuat Lifting Minyak Kedodoran

Headline
INILAH.COM, Jakarta - Bahan bakar minyak alias BBM, kini menjadi persoalan berat yang dihadapi pemerintah. Tapi, ini bukan sekadar masalah subsidi yang membengkak.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo akhir-akhir ini bolak-balik bercerita tentang subsidi BBM yang terus membengkak. Setelah itu, ia juga melontarkan pernyataan tentang kemungkinan pemerintah menaikkan harga premium, bahkan kalau perlu menghapuskan bahan bakar murah ini dari pasar dalam negeri.

Namun, dua hal yang sudah didengung-dengungkan sejak akhir tahun lalu itu, sampai kini itu masih tetap menjadi wacana. Terlihat jalas bahwa pemerintah belum punya keberanian menghadapi kemungkinan munculnya risiko kenaikan harga BBM. Padahal, pengkajian tentang penyesuaian harga BBM sudah dibahas secara tuntas oleh para ekonom yang dipimpin Anggito Abimanyu, beberapa bulan lalu.

Terlepas dari soal keraguan pemerintah mengambil sikap, dalam sebuah seminar di Jakarta, Prof Subroto pernah bilang, andai cadangan minyak dikelola dengan tepat, eksekutif negeri ini sebenarnya tak perlu menghadapi dilema. “Negeri kita kaya energi, tapi tak punya manajemen yang mumpuni,” kata bekas Menteri Pertambangan di zaman Orde Baru itu.

Contohnya dalam hal lifting minyak yang, dalam beberapa waku terakhir ini, kerap tak tercapai. Menurut Subroto, ada beberapa faktor yang membuat minyak yang terangkat tidak sesuai target. Tapi semuanya terpusat pada iklim investasi. Iklim investasi di tanah air yang kurang menarik membuat investor enggan melakukan eksplorasi di negeri ini. Akibatnya, Indonesia tak pernah menemukan ladang baru yang memiliki cadangan dalam jumah signifikan.

“Sekarang kegiatan eksplorasi setiap tahunnya sangat sedikit,”kata Subroto. Apa yang dikatakan sang profesor memang benar. Dan gara-gara kurangnya kegiatan eksplorasi, cadangan minyak Indonesia tak pernah beranjak jauh dari angka 4,3 miliar barel. Dan , jika disedot sejuta barel sehari, cadangan itu akan habis dalam waktu 11 tahun 4 bulan.

Tak bisa dipungkiri, dalam hal pencarian cadangan minyak baru, Indonesia masih kalah jauh dibanding negara-negara Asean lainnya. Malaysia contohnya, yang belum lama ini menemukan cadangan minyak di laut dalam hingga 1 miliar barel. Logikanya, jika negeri yang memiliki wilahah 330 ribu kilometer persegi bisa menemukan cadangan sebesar itu, kenapa Indonesia tidak? Indonesia merupakan negara yang luas wilayahnya hampir mencapai 2 juta Km2 atau enam kali dari luas Malaysia.

Jawabnya, kembali, iklim investasi yang tidak mendukung. Data Top 135 Projects yang diterbitkan GSRI 2007 menyebutkan, Indonesia meruakan negara yang berisiko tinggi (high risk) untuk investasi di bidang migas. Sementara Malaysia berada di posisi middle risk.

Tentang risiko ini sudah banyak dibicarakan dan dibahas di berbagai seminar maupun pertemuan formal lainnya, tapi entah kenapa Pemerintah RI tak mau memperbaikinya. Seorang petinggi di Pertamina bercerita, betapa banyaknya hambatan yang harus dihadapi untuk melakukan sebuah eksplorasi.

Misalnya, pengurusan perizinan dari pusat hingga daerah yang memakan waktu berbulan-bulan. Kemudian, banyaknya pungutan liar yang sulit dihindari. Dan yang tak kalah pentingnya adalah campur tangan pemerintah daerah yang terlalu jauh. “Banyak Pemda yang memaksa agar mempekerjakan putra daerahnya. Sudah begitu mereka juga sampai ikut-ikutan menngatur gajinya,” katanya.

Dengan kondisi itu, makanya pantas jika kenyamanan investasi di Indonesia hanya setingkat di atas Timor Leste. Jadi, jangan berharap kita menemukan cadangan minyak baru yang besar. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar