Selasa, 12 Juli 2011

Menakar Prospek Internasionalisasi Giro Yuan

Headline
INILAH.COM, Jakarta – Ekonomi China tumbuh dengan pesat. Giro yuan pun marak dijadikan alat transaksi global. Namun, China belum tentu membiarkan yuan menjadi mata uang internasional. Mengapa?

Ekonom Universitas Ma Chung Malang, Moch Doddy Arifianto mengatakan, terlalu dini untuk menyatakan giro yuan sudah mengglobal. Meskipun yuan sudah mulai dilirik menjadi mata uang transaksi di dunia, namun mata uang ini masih kalah dibandingkan dolar Singpura. “Sebab, menjadi mata uang internasional pun memiliki implikasi.”katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Selasa (12/7).

Menurut Doddy, penentuan nilai mata uang tidak tergantung pada kondisi dalam negeri. Selama ini, kondisi mata uang yuan mencerminkan kondisi domestik. Berbeda dengan mata uang yang sudah mencapai kategori safe haven seperti dolar AS dan yen Jepang. “Sekalipun kondisi dalam negerinya memburuk, dolar AS dan yen masih bisa menguat,” ujarnya.

Akibatnya, ditegaskannya, dari sisi ekspor kedua negara tersebut menderita karena komoditasnya tak lagi kompetitif di pasar ekspor akibat mata uangnya yang terinternasionalisasi.

Namun demikian, Doddy tidak menampik yuan China jadi alat transaksi bisnis. Tapi, ini lebih dipicu oleh motif kenyamanan transaksi bukan internasionalisasi (dalam pengertian disengaja). Sebab, pertubuhan ekonomi China sangat pesat dan size-nya pun semakin besar. “Semakin sejahtera masyarakat suatu negara, semakin banyak yang berbisnis dengan luar negeri,” paparnya.

Pada kuartal I/2011, China merilis laporanGross Domestic Product (GDP) mencapai 9,7%.Bahkan, pada kuartal sebelumnya melampau level 10%.Karena itu, lanjutnya, untuk mempermudah transaksi dengan mitra bisnis asal, pelaku bisnis membukan rekening giro yuan untuk kenyamanan alat transaksi. “Jadi, ini lebih alasan kenyamanan,” ucap Doddy, yang juga mantan ekonom Bank Mandiri ini.

Tapi, pada dasarnya, mata uang yuan masih dikontrol oleh otoritas moneter negeri Tirai Bambu itu. Memang, de jure, China melepas yuan ke market tapi de facto, Bank Sentral China terus mengintervensi agar penguatan yuan terjadi secara gradual (tidak drastis). “Saya belum yakin China akan membiarkan mata uangnya menjadi mata uang internasional, bahkan hingga 10 tahun mendatang,” ujarnya.

Tapi, Doddy menambahkan, untuk jangka panjang, setiap negara pun punya cita-cita untuk menginternasionalisasi mata uangnya. Sebab, menjadi mata uang internasional merupakan kebanggaan. “Hanya saja, secara ekonomis, menjadi mata uang internasional belum tentu selalu menguntungkan,” timpalnya.

Sejauh ini, Doddy tidak melihat adanya adanya upaya yang sungguh-sungguh dari China untuk mempromosikan mata uangnya menjadi salah satu alat transaksi secara internasional. “Padahal, dengan cadangan devisa China yang besar, China bisa menginternasionalisai dengan cara membeli surat berharga negara-negara lain sebanyak-banyaknya . Tapi, China tak melakukan itu,” imbuh Doddy.

Kalau hanya berjalan secara alami, lanjutnya, yuan China butuh waktu 50 tahun untuk jadi mata uang global. Untuk saat ini, antara sistem ekonom dan sistem sosial-politiknya saja belum compatible. Ekonominya kapitalis atau pasar bebas tapi secara politis, China menganut komunisme. “Untuk menginternasionalisasi, harus diselaraskan terlebih dahulu,” ucapnya.

Sebab, internasionalisasi mata uang berhadapan dengan dunia sehingga berat untuk mengintervensi mata uangnya. Karena itu, lanjut Doddy, China akan lebih memilih internasionalisasi mata uang yang terjadi secara natural seiring pertumbuhan ekonominya. “Yuan akan menjadi uang yang diperhitungkan butuh 10 tahun lagi sehingga bisa disejajarkan dengan Swiss Franck, poundsterling,” timpalnya. “Untuk saat ini, dolar Singapura dan Australia masih lebih dominan.”

Ia mengakui, berbagai investor melihat yuan sebagai mata uang yang kuat. Tapi, China sendiri masih akan hati-hati. Mereka berkaca ke Jepang yang negaranya terpukul akibat tsunami, tapi mata uangnya terus menguat, karena tak lagi ditentukan oleh faktor domestik.

Hal ini karena yen Jepang jadi mata uang safe haven. Dalam situasi risiko global naik, yen akan menguat sehingga ekspornya negeri Matahari Terbit itu terpukul. “Kondisi akan terjadi, jika China melakukan hal yang sama. Karena itu, China masih wait and see dan secara internasional akan berjalan alamiah, karena menjalani sebuah kebijakan belum tentu gampang,” imbuh Doddy. [ast]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar