Jumat, 17 Juni 2011

Fatwa Saham Belum Ampuh Gaet Investor Muslim

Headline
INILAH.COM, Jakarta – Fatwa MUI terkait mekanisme perdagangan saham sesuai syariah dinilai tak bisa diharapkan instan membentuk segmen baru investor. Efeknya diperkirakan baru terasa 3-5 tahun lagi.

Head of Research Division PT Universal Broker Indonesia Satrio Utomo menilai, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait mekanisme perdagangan saham dan penentuan saham-saham kategori syariah tidak terlalu besar pengaruhnya pada animo masyarakat terutama kalangan muslim untuk berinvestasi saham.

Memang menurutnya, untuk jangka pendek, fatwa itu membuat orang tertarik pada kelompok saham-saham syariah. Tapi, fatwa itu tidak bisa diharapkan membuat orang atau Muslim tradisional membeli saham. “Animo semacam itu, baru akan terasa terjadi 3-5 tahun ke depan,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Kamis (16/6).

Dia menjelaskan, Muslim tradisional di pedesaan yang memiliki uang banyak karena memiki kebun tembakau, kelapa sawit tidak bisa diharapkan langsung terjun ke saham setelah fatwa itu dikeluarkan. “Tapi, fatwa itu paling tidak bisa mengedukasi saham ke masyarakat yang lebih luas,” ucapnya.

Untuk membuka segmen baru, yakni kalangan Muslim tradisional, lanjut Satrio, pihak Bursa Efek Indonesia (BEI) atau sekuritas bisa melakukan sosialisasi ke pesantren. “Tapi, jika berharap dengan fatwa itu orang jadi masuk ke saham ISSI (Indeks Saham Syariah Indonesia), itu tidak bisa instan,” ucapnya.

Hingga saat ini, lanjutnya, kapitalisasi saham syariah (ISSI) mencapai 42% dari total kapitalisasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). “Tapi, itu bukan karena faktor fatwa halal MUI itu. Itu karena memang kapitalisasinya sebesar itu,” tandasnya.

Lalu, dari sisi likuiditas, saham syariah juga sedikit bermasalah. Sebab, Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) tidak mencantumkan aspek likuiditas dalam menentukan kriteria saham-saham yang masuk dalam kategori syariah.

Akibatnya, saham-saham yang likuiditasnya tidak terlalu bagus, juga masuk ke ISSI. Padahal, dia melihat, orang yang masuk ke saham dengan tujuan syariah lebih ke arah investasi bukan trading jangka pendek. “Investor sendiri harus yakin bahwa kondisi fundamental emiten cukup bagus dan likuiditasnya cukup,” ujarnya.

Satrio menyayangkan ISSI yang berbeda dengan Jakarta Islamic Index (JII) yang masih mementingkan aspek likuiditas. Karena itu, kalaupun segmen investor baru terbentuk dari kalangan Muslim tradisional ke bursa saham, menurutnya, tidak bisa langsung terjun bertransaksi. “Jika mereka terjun langsung dengan saham syariah yang likuiditasnya rendah justru berbahaya,” tukasnya. Satrio mengingatkan, likuiditas merupakan aspek penting dalam transaksi saham.

PT Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan, hingga akhir Mei 2011, nilai kapitalisasi ISSI sudah mencapai Rp1.639 triliun atau 42% dari nilai kapitalisasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sebesar Rp3.341 triliun.

Seperti diketahui , BEI bekerja sama dengan PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) meluncurkan fatwa Mekanisme Syariah Perdagangan Saham dan ISSI. Fatwa Nomor 80 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek telah disahkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Utama Indonesia (DSN-MUI) pada 8 Maret 2011. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar