Senin, 13 Juni 2011

Risk aversion menguat di pasar, rupiah tumbang 0,2% hingga sore ini

Risk aversion menguat di pasar, rupiah tumbang 0,2% hingga sore ini
JAKARTA. Rupiah mengalami pelemahan terbesar dalam lebih dua pekan terakhir. Tekanan terhadap rupiah dipicu sinyal hilangnya momentum pemulihan ekonomi, yang menyebabkan menguatnya risk aversion di pasar. Situasi ini mengurangi permintaan terhadap aset emerging market.

Mata uang Garuda mundur dari dekat level terkuat tujuh tahun setelah asing menjual saham lokal senilai US$ 186 juta, pada pekan lalu. Nilai tukar rupiah melemah 0,2% ke level Rp 8.543 per dollar AS, hingga pukul 4 sore di Jakarta. Ini penurunan terbesarnya sejak 25 Mei lalu.

Pada 11 Juni kemarin, profesor dari New York University Nouriel Roubini memprediksi terjadinya krisis keuangan global. Dia menyebut akan adanya sebuah badai kuat yang berasal dari kelemahan fiskal di Amerika Serikat, perlambatan ekonomi di China, restrukturisasi utang Eropa, dan stagnasi di Jepang yang dapat merusak ekonomi global.

Kepala treasury PT Bank Resona Perdania Lindawati Susanto menyebut, krisis utang di Eropa belum berakhir, dan belum ada kepastian pada ekonomi AS. "Itu menyebabkan sentimen negatif. Apa yang mempengaruhi pasar regional, akan mempengaruhi rupiah juga" ujarnya.

Survei Bloomberg memprediksi, penjualan ritel di AS pada Mei lalu akan turun 0,5%. Ini bakal menjadi penurunan yang pertama kali dalam 11 bulan terakhir. Padahal, AS tercatat sebagai pembeli ketiga terbesar ekspor non-migas dari Indonesia per April lalu.

Sementara, harga obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun untuk hari yang ketiga. Data Inter-Dealer Market Association menunjukkan, imbal hasil obligasi pemerintah yang jatuh tempo Juli 2021 naik dua basis poin menjadi 7,39%, pada sore ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar