Senin, 13 Juni 2011

Nantikan Arah Kebijakan The Fed, Rupiah Sideways

Headline
INILAH.COM, Jakarta - Kurs rupiah di pasar spot valas antar bank Jakarta, Senin (13/6) diprediksi sideways (mendatar). Pasar wait and see atas arah kebijakan The Fed pada Rapat Dewan Gubernur, 22 Juni mendatang.

Periset dan analis senior PT Monex Investindo Futures Zulfirman Basir mengatakan, potensi mendatarnya pergerakan rupiah hari ini karena laju dolar-euro, masih akan ranging (bergerak dalam kisarannya). Menurutnya, euro berpotensi melemah terbatas akibat krisis utang Yunani yang rating utangnya didowngrade ke level 'sampah' oleh tiga lembaga pemeringkat internasional seperti Moody's, Fitch dan S&P.

Karena itu, imbuhnya, obligasi Yunani tidak layak dijadikan jaminan untuk mengakses likuiditas dari ECB. Hanya saja, outlook euro, tidak begitu buruk. Sebab, European Central Bank (ECB) akan menaikkan suku bunga pada Juli 2011 dari level 1,25% saat ini. "Karena itu, rupiah cenderung sideways, untuk Senin (13/6) ini dan akan bergerak dalam range 8.505-8.530.,” katanya kepada INILAH.COM.

Di lain pihak, lanjut Firman, dolar AS tidak akan mengalami pergerakan yang berarti. Sebab, pasar menanti arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed) pada Rabu, 22 Juni mendatang. "Karena itu, rupiah akan terperangkap sideways dalam 1-2 pekan mendatang," ungkapnya.

Secara teknikal pun, lanjutnya, rupiah kesulitan menembus level 8.500 per dolar AS. "Karena itu, peluang penguatan dan pelemahannya jadi terbatas dalam kisaran 8.500-8.550 per dolar AS untuk sepekan ke depan," paparnya.

Lebih jauh Firman menjelaskan, setengah dari total anggota Dewan Gubernur The Fed, sudah memberikan isyarat tentang keengganannya atas Quantitative Easing (QE) ketiga. "Karena itu, dolar AS tidak akan anjlok terlalu dalam," tuturnya.

Tapi, imbuhnya, selama mereka menunda penarikan stimulus moneter, dolar AS akan melemah meskipun bertahap. "Keculi, jika The Fed memang melakukan Quantitative Easing Ketiga," ucapnya.

Dia sendiri menilai, QE ketiga, sangat kecil kemungkinannya. AS akan melakukannya jika terjebak pada resesi (dua kuartal mengalami pertumbuhan minus). Pada akhirnya, inflasi yang akan menentukan ada tidaknya QE Ketiga itu. "Saat ini, inlfasi global suda mulai meninggi," tuturnya.

Jika penarikan situmulus usai pada awal 2012 dan ternyata inflasi AS tinggi, pilihan The Fed adalah kenaikan suku bunga tinggi, walaupun ekonomi resesi. "Kebijakan seperti ini pernah dilakukan The Fed antara January dan Desember 1979," ucapnya.

Lalu, bunga The Fed dibawa dari 10% ke 14% pada bulan Maret 1980. Fed Fund Rate pun meraih bunga tertinggi sebesar 20% akibat tingginya inflasi seiring melambungnya harga minyak saat itu. "Sementara itu, Pertumbuhan GDP triwulanan anjlok ke level 7,8% di triwulan kedua 1980 yang memicu pelemahan dollar," ungkapnya.

Sebaliknya, dia menegaskan, jika inflasi rendah atau deflasi dan pertumbuhan ekonomi minus (resesi) The Fed akan melaksanakan QE ketiga. "Sejauh ini, The Fed hanya akan mereinvestasikan kembali obligasi yang sudah jatuh tempo lalu dibelikan kembali ke obligasi yang tenornya lebih panjang hingga awal 2012," papar Firman.

Alhasil, pelemahan dolar AS akan terjadi secara perlahan. Karena itu, secara umum outlook dolar AS melemah hingga tahun depan. "Jika perekonomian AS sudah mulai membaik dan pemulihannya stabil, The Fed akan sedikit berani menarik stimulusnya," timpalnya.

Pola seperti ini, dikatakan Firman, juga dilakukan The Fed pada tahun lalu ketiga QE pertama berakhir pada Juni 2010. "Lalu, QE kedua dimulai pada November 2010," imbuh Firman.

Asal tahu saja, kurs rupiah di pasar spot valas antar bank Jakarta, Jumat (10/6) ditutup menguat tipis 2 poin (0,02%) ke level 8.516/8.519 per dolar AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar