Rabu, 08 Juni 2011

Pemerintah Tenang Jika Dolar AS di Kisaran Rp 8.700-8.800

Gb
Jakarta - Pemerintah merasa aman jika Dolar AS berada pada level Rp 8.700-8.800 hingga akhir tahun. Untuk itu, trend penguatan rupiah akhir-akhir ini harus diwaspadai karena bisa mengancam neraca perdagangan Indonesia mengingat pertumbuhan impor lebih cepat dibandingkan ekspor.

Hal tersebut Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro ketika ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Selasa (7/6/2011) malam.

"Trade of balance kita tetap positif, tetap surplus tapi kan ada tren mengecil angkanya. Itu salah satunya karena di neraca migas masih defisit karena produksinya tidak sesuai harapan, jadi impor banyak di samping permintaan tinggi. Di sisi lain penguatan rupiah ini tentunya harus ada batasnya karena pertumbuhan impor terus lebih tinggi dari ekspor," ujar Bambang

Menurut Bambang, saat ini perekonomian Indonesia masih tertolong oleh neraca modal karena masih banykanya arus modal masuk, meskipun rupiah semakin menguat, hingga mencapai level Rp 8.540 per dolar AS yang merupakan level terendah sepanjang 7 tahun terakhir.

"Kalau trade balance kita itu sampai defisit maka otomatis payment kita masih surplus, cadangan devisa kita masih nambah cuma hanya mengadalkan ke capital account, tidak lagi ke current account, kalau current account kan pasti defisit. Jadi andalannya cuma capital account yang kebetulan ditolong oleh capital inflow yang masih besar. Jadi intinya adalah memang mungkin penguatan rupiah sudah sampai pada tahap kita mesti hati-hati untuk menjaga agar tidak sampai defisit dalam trade balance," ujarnya.

Bambang mengakui dengan penguatan rupiah ini daya saing para eksportir akan terganggu. Namun, di sisi lain, Indonesia memperoleh keuntungan dengan tren tersebut, yaitu terhindar dari inflasi yang disebabkan barang-barang impor. Dengan demikian, dia mengharapkan agar mata uang negara lain juga terdepresiasi layaknya dolar, sehingga perdagangan Indonesia tidak terganggu.

"Ini anomali jadi bukan apresiasi rupiah tapi depresiasi dolar cuma rupiah memang salah satu yang apresiasinya paling kuat di Asia, selain won. Jadi artinya kita perlu waspada, di satu sisi kita cukup diuntungkan karena bisa membantu meredam imported inflation tapi di sisi lain kita harus waspada jangan sampai trade balance-nya akhirnya menjadi defisit. Ini kita masih untung karena semua mengalami depresiasi dan itu yang kita harapkan terus menerus, semua terdepresiasi sehingga pola ekspor impor kita tidak terganggu," jelasnya.

Sampai saat ini, lanjut Bambang, pihaknya masih memantau perkembangan nilai tukar tersebut. Pasalnya, meskipun merugikan eksportir, tetapi ada dari beberapa produsen yang diuntungkan dari penguatan rupiah tersebut, yaitu produsen yang menggunakan bahan dasar dari luar negeri.

"Memang suatu saat daya saing akan terganggu kalau rupiah terlalu kuat, tentunya kita harus lihat dulu mana komoditi-komoditi yang sensitif sekali dengan penguata rupiah karena ada juga komoditi yang tertolong dengan adanya apresiasi karena dia import contentnya cukup besar, jadi meskipun dia ekspor, dia ditolong biaya produksi yang lebih murah, tetapi gak semua. jadi mungkin yang import contentnya kecil, baru jadi masalah. Jadi artinya BI dan pemerintah harus terus memonitor bagaimana dampak dari pergerakan rupiah terhadap trade balance," ujarnya.

Menurut Bambang, hal yang perlu dilakukan guna mengantisipasi dampak penguatan rupiah ini terhadap defisit perdagangan adalah dengan menekan impor migas yang sepanjang tahun ini trennya terus meningkat. Namun, ketika defisit semakin dekat, maka Bank Indonesia perlu menahan nilai rupiah pada level yang lebih kompetitif.

"Karena itu untuk mencegah trade balance itu, yang dari migas defisitnya mesti diredam ya, supaya tidak lagi memberatkan ke trade balance secara keseluruhan. kita lihat kan selama positif tidak apa-apa tapi kalau sudah mulai dekat menuju ke defisit, BI harus menekan agar rupiah berada pada tingkat yang lebih kompetitif," tegasnya.

Dengan kondisi impor ekspor Indonesia saat ini, Bambang menilai level aman rupiah berada pada kisaran Rp 8.700-8.000 sepanjang tahun.

"Rp 8500 per dolar AS kan posisi sekarang ya kita mungkin melihat idealnya, 8.700-8.800 kalau ngambil titik tapi kalau range 8.500-8.800, rata-rata karena itu yang kayaknya ideal karena itu tadi melihat sekarang bukan apresiasi tapi depresiasi dolar. Jadi rupiah pasti akan berpengaruh terhadap mata uang lainnya," pungkasnya.

(nia/qom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar