Selasa, 23 Agustus 2011

Inilah Beda 'Market Crash' 2008 dan 2011

INILAH.COM, Jakarta – Dalam dua pekan ke depan, IHSG bisa saja jatuh 200 poin dan menjadi crash bagi trader. Tapi, bagi investor justru menjadi berkah karena dapat harga murah. Sebab, market crash 2011 berbeda dengan 2008.

Presiden dan pendiri PT Astronacci International Gema Goeyardi mengatakan, berdasarkan survei terhadap 100 investor saham retail di Indonesia, 80 orang menyatakan bahwa mereka bingung dengan prospek pasar saham Indonesia ke depan. Terutama saat melihat kondisi market global yang tak kunjung berhenti dirundung berita-berita negatif.

Menurutnya, mayoritas investor menyampaikan kepanikan mereka dan membutuhkan second opinion tentang arah market lebih dari satu periode ke depan. “Yang menjadi pertanyaan teratas adalah apakah crash 2008 akan terulang dan mungkinkah IHSG kembali ke 3.300 atau bahkan di bawah 3.000?” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, kemarin.

Gema berpendapat, tak dapat dipungkiri, investor saham terdiri dari berbagai kalangan dengan berbeda latar belakang ekonomi, sosial, pendidikan dan juga tersegmentasi dari segi motivasi berinvestasi. “Ada yang investor jangka panjang (reksadana ataupun saham), trader jangka pendek, bahkan trader harian,” ujarnya.

Karena itu, lanjut Gema, kata Crash ini akan dipandang dari sudut yang berbeda-beda oleh setiap investor/trader. Untuk itu, time frame investasi sangat perlu dimengerti. “Dengan mengerti kavling-kavling pembagian waktu, investor akan lebih tenang,” ungkap Gema.

Dia mencontohkan, dalam jangka waktu sekian minggu market akan jatuh pada harga X hingga waktu Y. Sedangkan untuk jangka menengah periode 2-3 bulan ke depan, market akan lebih stabil. “Nah, maka hal ini akan memperjelas apakah yang disebut crash itu,” tandasnya.

Dia mengilustrasikan, bisa saja dalam 2 pekan ke depan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ^JKSE) jatuh 200 point. Angka ini, tentunya bagi trader jangka pendek dianggap sebagai crash. “Namun, bagi investor jangka panjang, kejatuhan 200 poin adalah berkah untuk membeli saham yang lebih murah dan mudah didapat dibandingkan saat bullish rally,” paparnya.

Kalau demikian, apakah crash adalah relatif? Gema mengatakan, tentu tidak. Walaupun sama-sama terpeleset minus 500 poin nantinya, tetapi ada dua perbedaan besar antara market crash 2008 dengan 2011.

Gema membeberkan, pada 2008, kurs rupiah melemah hingga 12.000 per dolar AS sedangkan pada 2011 mata uang RI ini stabil di level Rp8.500. Pada 2008 terjadi bubble pada harga minyak hingga mencapai US$150 per barel sedangkan pada 2011 harga minyak stabil bahkan cenderung turun pada level area US$75-95 per barel.

Dari sisi likuiditas, pada 2008 terjadi redeem (penarikan dana) pada reksadana, deposito, dan sebagainya sehingga tampak jelas terjadi krisis likuiditas. Pada 2011 yang terjadi sebaliknya, reksadana dan deposito kian ramai dan tidak ada redeem baik oleh investor asing maupun lokal.

Lalu, dari sisi makro ekonomi, pada 2008 Indonesia terjebak pada inflasi double digit (11-12%). Gross Domestic Product (GDP) pun menurun dari 6,5% ke level 4%. Income per capita pun masih di bawah US$2.000 per tahun. Sementara itu, BI rate terus merangkak naik ke level 9-10%. “Semua itu dimotori oleh bubble pada harga komoditas,” ucapnya.

Sedangkan pada 2011, lanjutnya, inflasi terkendali di level 5-6%, GDP justru pulih ke level 6,5% (year on year). Income per capita naik ke atas US$3.000 dan BI rate di level rendah 6,75%. “Semua itu dimotori oleh inner power dari consumer confidence yang kuat dan bertumbuh agresif,” papar Gema.

Berdasarkan perbandingan itu, ditegaskan Gema, sekarang pasar telah mengerti bahwa terjadi 2 perbedaan mendasar antara koreksi besar pada 2008 dan 2011. “Bagi kami, kejadian kali ini bukanlah sebuah crash mengingat belum terlihatnya kesamaan dari 4 komponen itu,” tandasnya.

Di atas semua itu, dia berkesimpulan, IHSG beserta saham-saham berbasis konsumsi dan perbankan akan melambung lebih tinggi. Dia yakin bahwa fundamental ekonomi Indonesia dapat diperhitungkan dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia seperti Jepang, China, Singapore, Malaysia dan Thailand. “Ini adalah kesempatan untuk investasi di saham-saham terbaik,” kata Gema tegas.

Menurutnya, target harga IHSG pada akhir 2011 diperkirakan menyentuh 4.500 dan 5.600 untuk 2012 dengan asumsi forward Price to Earnings Ratio (PER) 15 kali. Earning Per Share (EPS) dari IHSG akan meningkat 25% pada 2011 dan 20% di 2012.

Dia merinci, tiga alasan pendukung prestasi IHSG. “Pertama, kekuatan besar dari daya konsumsi masyarakat, kedua, perputaran usaha yang semakin baik dari banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia dan ketiga, keuntungan dari mata uang rupiah yang kuat,” imbuhnya. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar