Senin, 15 Agustus 2011

Utang

Logo BEI
DALAM kehidupan sehari-hari, setiap orang nyaris tidak pernah terhindar dari utang, mulai dari skala yang paling sepele - sekadar utang karena tidak ada uang kecil ketika harus membayar barang misalnya - sampai untuk kebutuhan yang sangat serius dan mendesak. Kalau kita bertanya kepada seseorang, pernahkan ia berutang (untuk alasan apapun), maka hampir bisa dipastikan jawabnya pernah. Mungkin tidak ada orang yang tidak pernah berutang sepanjang hidupnya.

Ulasan di atas sekadar untuk menunjukkan bahwa kegiatan berutang adalah suatu yang lazim, suatu keniscayaan dalam kegiatan manusia. Kegiatan berutang atau pinjam meminjam akan ditemukan di segala level, mulai dari tingkat individu, di level rumah tangga, di tingkat organisasi baik kecil maupun besar, dan di level komunitas apalagi sebuah perusahaan yang dituntut untuk menghasilkan laba sebesar-besarnya. Bahkan di tingkat negarapun, baik negara kecil maupun negara besar, baik negara miskin ataupun negara yang kaya kegiatan utang merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan.

Seorang ekonom pernah berseloroh, seseorang atau perusahaan yang mempunyai utang banyak (besar) menandakan orang atau perusahaan itu dipercaya orang. Ada trust di sana. Sebab, jika tidak ada kepercayaan maka mustahil ada kesediaan dari pihak lain yang bersedia memberikan utang. Bahkan, pihak-pihak yang memberikan utang senantiasa berdoa untuk keselamatan dan kesehatan si penerima utang agar bisa selalu bekerja dan ujungnya bisa membayar utangnya.

Karena itu, jangan masalahkan soal utang. Untuk tingkat korporasi dan negara, utang merupakan suatu kebutuhan. Banyak perusahaan dan tidak terhitung jumlahnya yang berkembang pesat karena berutang ke bank. Istilah ekonominya: perusahaan mendapatkan kredit atau funding dari bank. Adanya lembaga keuangan seperti perbankan antara lain juga untuk memfasilitasi atau menjembatani agar terjadi proses pinjam meminjam secara fair dan teratur antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana.

Di tingkat negara juga begitu. Untuk kebutuhan belanja, negara bisa mengajukan utang ke lembaga-lembaga keuangan internasional atau ke siapapun – termasuk ke rakyatnya sendiri atau orang asing – melalui penerbitan surat utang yang disebut obligasi. Hampir semua negara melakukannya, termasuk Indonesia yang menerbitkan obligasi negara.

Yang jadi soal sebenarnya bukan masalah utangnya, tetapi seberapa besar batas kemampuan berutang baik di tingkat individu, korporasi ataupun negara. Semestinya ada satu ukuran atau standar, berapa batas utang yang bisa dilakukan. Di tingkat individu, hanya individu itu sendiri yang bisa mengukurnya. Misalnya, ia berinvestasi di saham dengan fasilitas margin (pinjaman), agar kegiatan investasinya tetap aman maka ia harus bisa mengukur batas kemampuan dalam menggunakan margin.

Di tingkat korporasi juga begitu. Ada ukuran yang bisa dipakai oleh perusahaan untuk melihat batas kemampuan berutang. Misalnya, debt equity ratio (DER) yakni perbandingan antara utang dengan ekuitas. Setiap sektor usaha dan perusahaan memiliki standar yang berbeda-beda. Ada yang bilang tingkat aman DER adalah 1 : 1. Tapi ada juga yang mengatakan 2 : 1 juga masih cukup aman.

Di level negara juga begitu. Ekonom Tony Prasetyantono, dalam artikelnya di media nasional, Senin (8/8/2011) mengatakan di Jepang utang pemerintah mencapai 200 persen dari PDB, utang AS 100 persen PDB, Yunani 117 persen, Italia 100 persen, Irlandia 100 persen dan Portugal 80 persen. Spanyol 51 persen. Indonesia kini 26 persen, turun dibandingkan krismon 1998 yang mencapai 100 persen PDB. Batas aman sesuai konsensus para ekonom adalah 60 persen.

Meski dibilang konsensus batas aman nilai utang negara adalah 60 persen dari PDB, tapi fakta menunjukkan banyak negara – termasuk negara maju – yang nilai utangnya melebihi 100 persen PDB. Sikap seperti ini tentu sangat tergantung pada masing-masing negara. Indonesia yang kini jumlah utangnya 26 persen dari PDB dinilai masih terlalu besar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertekad akan menekan terus nilai utang tersebut. Ditargetkan pada 2014 nanti posisi utang Indonesia sudah mencapai 24 persen dari PDB.

Begitulah utang. Bagi korporasi atau emiten, masalahnya bukan soal utang tapi masalahnya ádalah bagaimana memanfaatkan dan mengelola utang. Jika perusahaan memang membutuhkan utang untuk meningkatkan kegiatan produktifnya mengapa harus takut? (Tim BEI)
(//wdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar