Rabu, 24 Agustus 2011

Ketidakpastian Pertemuan The Fed Tekan Bursa Asia

Headline
INILAH.COM, Singapura - Saham Asia melemah, di tengah kekhawatiran pertemuan bankir bank sentral di Jackson Hole, Wyoming, akan gagal mengumumkan rencana baru untuk menjaga ekonomi global dari perlambatan.

Indeks MSCI Asia Pacific pada perdagangan Rabu (24/8) turun 1% menjadi 119,59 pada pukul 3:43 di Tokyo, setelah naik tertinggi selama lima bulan kemarin dan melanjutkan apresiasi 0,7% hari ini.

China Life Insurance Co dan Malaysian Airline System Bhd memimpin penurunan setelah membukukan pendapatan yang lebih rendah. Perusahaan Australia Suncorp Group Ltd dan WorleyParsons Ltd melaporkan keuntungan yang melebihi perkiraan analis.

"Ini adalah momen berisiko," kata Khiem Do, kepala strategi multi aset di Baring Asset Management, Hong Kong. "Pasar memiliki pemikiran lain tentang hasil Jackson Hole itu. Saya melihat beberapa orang menilai hasilnya mungkin tidak sebagus ekspektasi, jadi mereka memilih trading jangka pendek. "

Kontrak pada indeks Standard & Poor 500 turun 0,9%, setelah benchmark ekuitas AS naik tertinggi dalam hampir dua pekan kemarin, di tengah spekulasi pelambatan ekonomi akan memaksa Federal Reserve meningkatkan upaya stimulus.

Data pemerintah yang menunjukkan penjualan rumah AS Juli jatuh ke level terendah dalam lima bulan, menambah bukti bahwa pemulihan sedang goyah. Laporan pesanan barang tahan lama hari ini diperkirakan juga akan menunjukkan penurunan.

"Tidak diragukan lagi The Fed akan mensinyalkan tetap siap melakukan apapun untuk mendukung pertumbuhan," kata Stephen Halmarick, kepala peneliti investasi pasar di Colonial First State Global Asset Menegement, Sydney. "Tetapi pasar saham akan tetap volatile, karena laju pertumbuhan di negara maju telah melambat secara signifikan."

Indeks volatilitas HSI Hong Kong dan indeks volatilitas Kospi 200 Korsel untuk harga opsi telah diperdagangkan pada rata-rata lebih dari 70% di atas nilai rata-rata pergerakan 90 hari selama tiga pekan terakhir.

Dari 574 perusahaan dalam indeks MSCI Asia Pasifik yang melaporkan laba bersih sejak 11 Juli, 45% melampaui perkiraan analis, sementara 32% meleset.

Indeks Nikkei Jepang 225 Stock Average turun 1,1%, setelah berayun antara keuntungan dan kerugian, setelah Moody Investors Service memangkas rating kredit Jepang dan Menteri Keuangan Yoshihiko Noda gagal mengumumkan langkah-langkah untuk membendung penguatan yen ke level rekor.

Eksportir Jepang, yang pendapatannya tertekan akibat penguatan yen, melemah. Toyota Motor Corp, produsen mobil terbesar dunia, turun 1,6%, setelah naik 1,5%. Sony Corp, pembuat Televisi Bravia dan game konsol PlayStation, turun 2,9%.

Saham perbankan juga melemah, setelah Moody menurunkan peringkat kredit atas kekhawatiran keuangan publik yang lemah akan mengurangi kemampuan pemerintah untuk mendukung perbankan saat krisis. Mitsubishi UFJ Financial Group Inc, bank publik terbesar Jepang, turun 2,9%. Rivalnya, Sumitomo Mitsui Financial Group Inc turun 1,8%.

Indeks Kopsi Korea Selatan turun 1,2%, indeks Hang Seng Hong Kong turun 1,4%, sedangkan indeks komposit Shanghai China kehilangan 0,7%. Di Australia, indeks S & P / ASX 200 tergelincir 0,1%, menghapus keuntungan 1,6%.

China Life Insurance, perusahaan asuransi terbesar China, tenggelam 13% di Hong Kong, terbesar sejak Oktober 2008, setelah melaporkan laba semester pertama turun 28%. Ping An Insurance Group Co, perusahaan asuransi terbesar kedua di negara itu, turun 3,6%.

Malaysian Airlines turun 2,4% di Kuala Lumpursetelah membukukan kerugian kuartalan kedua.

Suncorp Group, pemberi pinjaman Australia dan perusahaan asuransi, naik 5,6% di Sydney setelah penurunan laba setahun penuh kurang dari perkiraan analis. WorleyParsons, penyedia layanan rekayasa untuk industri migas, naik 10% setelah melaporkan laba setahun penuh yang melebihi perkiraan analis.

BHP Billiton Ltd, perusahaan tambanag terbesar dunia, ditutup tidak berubah di Sydney, menghapus kerugian 0,9% sebelumnya. Perusahaan melaporkan sebelum pasar tutup, laba bersih setahun penuh naik ke rekor US$ 23,6 miliar dari US$ 12,7 miliar tahun sebelumnya.

Ini karena tembaga, bijih besi dan batubara mencapai harga tertinggi sepanjang waktu, atas permintaan dari China. Itu berarti mengalahkan US$ 22,6 miliar dari 18 perkiraan analis yang dihimpun Bloomberg. [ast]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar