Selasa, 09 Agustus 2011

Situasi Tak Pasti, Market Bergerak Liar

Headline
INILAH.COM, Jakarta - Rupiah melemah tajam menyusul rontoknya IHSG tiga hari terakhir. Situasi market tak pasti setelah Dow Jones rontok di atas 600 poin, koreksi terbesar dalam dua tahun terakhir.

Periset dan analis senior PT Monex Investindo Futures Albertus Christian mengatakan, pelemahan rupiah hari ini dipicu oleh ulah investor yang membuang aset-aset berisiko seperti saham dan mata uang terutama dolar AS. Itu terjadi setelah ketegangan di pasar semakin meningkat setelah indeks Dow Jones anjlok lebih dari 600 poin.

Kerontokan tersebut, lanjutnya, merupakan penurunan terbesar dalam dua tahun terakhir. "Karena itu, sepanjang perdagangan rupiah mencapai level terlemahnya 8.604 dan level terkuatnya 8.534 per dolar AS dari level pembukaan 8.578 per dolar AS,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Selasa (9/8).

Kurs rupiah di pasar spot valas antar bank Jakarta, Selasa (9/8) ditutup melemah 57 poin (0,67%) ke level 8.557/8.567 per dolar AS dari posisi kemarin 8.500/8.510.

Selain itu, lanjutnya, aksi down grade dari lembaga pemeringkat terhadap rating kredit US Treasury, juga turut menekan rupiah. Sebab, kondisi itu diprediksi pasar dapat mendorong potensi risiko resesi double dip (gelombang kedua) di AS dan juga akan memicu resesi global.

Saat ini, menurut Christian, situasinya tidak pasti karena investor membuang aset berisiko yang biasanya dialihkan ke safe haven dolar AS. "Tapi, dengan terjadinya down grade pada aset dolar AS yakni US Treasury, mereka mengalihkan asetnya ke mata uang yang pertumbuhannya cukup stabil seperti Indonesia atau aset lain seperti emas dan mata uang Eropa swiss franc," ungkapnya.

Tapi, dia memaparkan, rupiah masih lemah dibandingkan kemarin meskipun menguat dibandingkan pembukaan di level 8.578 per dolar AS. "Dalam situasi yang tidak pasti market cenderung bergerak liar," timpalnya.

Dari Eropa pun, imbuhnya, situasinya sama masih goyah akibat kekhawatiran penyebaran krisis terhadap Italia dan Spanyol yang tidak bisa diredam oleh pembelian obligasi oleh European Central Bank (ECB) atas kedua negara itu. "Pada saat yang sama, terjadi kerusuhan di London," ungkapnya.

Alhasil, dolar AS melemah terhadap mayoritas mata uang utama termasuk terhadap euro (mata uang gabungan negara-negara Eropa). Indeks dolar AS turun 0,2% ke level 74,74 dari sebelumnya 74,99. "Terhadap euro, dolar AS melemah ke level US$1,4263 dari sebelumnya US$1,4162 per euro," imbuh Christian.

Dari bursa saham, pengamat pasar modal Willy Sanjaya mengatakan, pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ) sebesar 115,15 poin (2,99%) ke level 3.735,119 dipicu oleh bursa regional yang rata-rata turun di atas 5% setelah Dow Jones anjlok 634,76 poin (5,55%) ke level 10.809,80.

Tapi menurutnya, koreksi indeks saat ini tidak terlalu berbahaya dibandingkan 2008. “Saya justru melihat, yang paling berbahaya adalah saat korontokan IHSG pada 2008. Saat itu, Dow Jones turun ke level 8.000-an sedangkan sekarang Dow Jones masih bertahan di atas 10.000,” ungkap Willy.

Dengan kerontokan market saat ini, lanjutnya, pasar jangan melihat krisis AS semata faktor ekonomi tapi juga politis antara kubu Partai Demokrat dengan Republik. “Yng perlu diingat pasar, tak ada satu negara pun di dunia yang bangkrut,” tandasnya.

Saat ini, satu rating AS dipangkas ke level AA+ dari AAA, telah membuat market hancur lebur. Padahal, banyak negara dengan rating jauh di bawah AA+. “Karena itu, yang terjadi di Amerika bukan semata ekonomi, tapi juga politik,” ungkapnya.

Rezim Partai Republik sudah meninggalkan utang yang terlalu besar hampir 100% Produk Domestik Bruto (PDB) untuk pemerintahan Obama dari Partai Demokrat akibat biaya perang yang berkepanjangan. “Inilah ujian bagi Obama sebagai presiden pertama yang berasal dari kulit hitam di AS,” imbuhnya.

Tapi, Willy yakin pada akhirnya, pemerintahan Obama akan mendapatkan jalan keluarnya dan mendapat dukungan di Kongres termasuk Partai Republik. Hanya saja untuk saat ini, market domestik berada dalam tekanan. Apalagi, koreksi indeks juga mendapat dukungan dari kerontokan bursa Eropa siang ini.

Tapi, di tengah kepanikan pasar, pertemuan Bank Sentral AS nanti malam diharapkan Willy bisa memberikan kesejukan bagi market. Apalagi, dari fundamental ekonomi Indonesia, tak ada yang perlu diikhawatirkan. Sebab, cadangan devisa RI mencapai level tertinggi dalam sejarah US$122,7 miliar dan nilai ekspor sudah mencapai US$200 miliar per Juni 2011. “Pada saat yang sama, laba bersih emiten kuartal kedua 2011 juga sudah mencapai rata-rata 25%,” ungkapnya. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar