Selasa, 19 Juli 2011

IHSG Tak Mampu Lagi Tampung 'Capital Inflow'

Headline
INILAH.COM, Jakarta – Kenaikan arus capital inflow ke pasar domestik terjadi secara stabil. Tapi, IHSG tak mampu menampungnya lebih banyak lagi. Sebab, di mata investor asing kapitalisasi pasar RI masih kecil.

Pengamat ekonomi David Sumual mengatakan, sejak krisis 2008, capital inflow terus mengalami kenaikan. Pada periode Januari-Juni 2011 capital inflow mencapai Rp18,6 triliun di bursa saham. Sedangkan capital inflow melalui Surat Utang Negara (SUN) mencapai Rp39,4 triliun.

Sementara itu, dana asing yang masuk melalui kanal Sertifikat Bank Indonesia (SBI) trennya menurun. Dalam periode Januari-Juni 2011, hanya mencapai Rp6,7 triliun dari Januari-Mei Rp20 triliun. “Ini karena holding period-nya ditambah menjadi 6 bulan minimal oleh Bank Indonesia. Karena itu, asing tidak terlalu tertarik pada SBI,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Senin (18/7).

Stabilnya kenaikan capital inflow, lanjut David bisa dilihat dari yield SUN yang terus turun dan harganya naik untuk semua tenor dari 6 bulan hingga 30 tahun. Untuk yield SUN 30 tahun turun ke level 8,8% dari sebelumnya di atas 9%. Sedangkan tenor 10 tahun di level 6-6,5%. “Bandingkan dengan Yunani yang mencapai 17% dengan tenor yang sama (10 tahun),” timpal David.

Karena itu, lanjutnya, ada kecenderungan peralihan dana dari SBI ke SUN terutama untuk karakter investor fixed income. “Arus capital inflow yang terjadi saat ini sepadan dengan tren kenaikan rating utang Indonesia yang tinggal satu tahap lagi mencapai investment grade,” paparnya.

Menurutnya, Indonesia cenderung di-upgrade oleh lembaga pemeringkat sedangkan negara lain terutama di Eropa dalam tren downgrade sehingga kondisi kredit rating-nya memburuk. Bursa China pun kapitalisasinya sudah terlalu besar sehingga potensial growth-nya tak lagi tinggi. “Negara-negara emerging market yang lain punya masalah masing-masing,” tambahnya.

Sedangkan ekonomi Indonesia masih kecil dengan total Produk Domestik Bruto (PDB) Rp6.000 triliun atau sekitar US$600 miliar jauh di bawah PDB AS senilai US$14,66 triliun. Karena itu, potensi pertumbuhan pasar modal Indonesia pun sangat tinggi. “Apalagi, jika investment grade sudah diraih Indonesia, investor institusi akan masuk sambil tutup mata untuk menyimpan dananya di sini,” ungkapnya.

Hanya saja, David menggarisbawahi, market kapitalisasi bursa Indonesia masih kecil sehingga rentan terjadinya bubble (gelembung) saat hedge fund mengubah posisi portofolio-nya. Dia mencontohkan, hedge fund sebelumnya menempatkan investasinya 90% di Eropa dan AS. Tapi, karena Eropa mengalami krisis utang, dana tersebut dipindahkan sebesar 0,5% dari 90%. “Market Indonesia akan langsung meroket,” ujarnya.

Karena itu, imbuhnya, capital inflow yang masuk ke Indonesia saat ini sebenarnya tidak terlalu besar. Tapi, IHSG sangat sensitif untuk naik karena kapitalisasi market yang kecil. Kapitalisasi pasar RI hanya 50% (Rp3.600 triliun) terhadap PDB Rp6.000 triliun. “Sedangkan kapitalisasi market negara-negara lain sudah di atas 100% PDB,” ungkap David.

Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai US$436 miliar atau lebih dari 100% PDB. Apalagi, kapitalisasi market Singapura yang hampir mencapai 200% PDB. Supir taksi Singapura bahkan memiliki reksadana. Lalu, Thailand sebesar US$292 miliar atau 70% PDB. “Di Malaysia, IPO per tahun bisa mencapai puluhan. Sedangkan Indonesia masih 10 hingga belasan,” ujarnya.

Karena itu, seiring derasnya capital inflow, David juga tidak menafikan adanya potensi capital outflow. Sebab, investor portofolio sangat mudah melakukan hal itu. Berbeda dengan Foreign Direct Investment (FDI) yang tidak bisa serta merta pindah.

Untuk itu, David menyarankan, agar iklim investasi diciptakan lebih baik sehingga capital inflow tidak menumpuk pada portofolio tapi juga mengalir ke investasi langsung. Pemerintah juga harus memperbanyak instrumen invetasi seperti obligasi infrastruktur. “Perlu juga menggenjot perusahaan untuk Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI),” tuturnya.

Saat ini, lanjut David, pemerintah sudah memberikan insentif kepada perusahaan yang IPO dengan floating saham di atas 50% berupa keringanan pajak dibandingkan perusahaan yang belum listing. “Tapi, itu harus digenjot lebih cepat lagi, untuk menampung capital inflow,” timpal David.

Dia menegaskan, jika daya tampung market domestik terbatas, capital inflow akan meluber ke mana-mana sehingga sangat rentan terjadinya bubble. Begitu terjadi bubble, dana asing langsung keluar dan market domestik kembali kempes secara tiba-tiba. “Dengan kecilnya kapitalisasi market, Indonesia belum menjadi perhitungan utama investor global untuk masuk,” tandasnya.

Menurut Dia, asing melihat market Indonesia tidak likuid sehingga jika asing memaksakan diri untuk masuk, IHSG rentan bubble. Lalu, jika asing masuk dengan dana besar, juga akan susah untuk jual kembali. “Ini akan berbeda jika emiten yang besar masuk ke BEI dengan jumlah yang banyak, asing akan tertarik,” ucapnya.

Alhasil, asing melihat, kapitalisasi market BEI hanya US$300 miliar. Mereka lebih tertarik pada market yang lebih besar. “Misalnya, kapitalisasi market satu emiten seperti Google atau Facebook saja bisa mencapai US$100 miliar. Artinya, satu emiten Facebook sudah 1/3 total kapitalisasi BEI keseluruhan,” imbuhnya. “Jadi market kira masih kecil.” [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar