Senin, 08 Agustus 2011

Kekhawatiran Resesi Double Dip Membesar

Headline
INILAH.COM, Jakarta - Kurs rupiah di pasar spot valas antar bank Jakarta, Senin (8/8) diprediksi melemah. Pasar semakin mencemaskan krisis gelombang kedua (double dip).

Periset dan analis senior PT Monex Investindo Futures Zulfirman Basir mengatakan, potensi pelemahan rupiah awal pekan ini, salah satunya dipicu oleh berlanjutnya kekhawatiran pasar terhadap tenaga kerja AS. Karena itu, ada potensi dolar AS sedikit melanjutkan penguatannya kembali.

Menurutnya, memang pada Jumat (5/8) waktu AS, Departemen Tenaga Kerja melaporkan, nonfarm payrolls AS meningkat sebesar 117 ribu pada Juli atau di atas ekspektasi pasar 85 ribu. Kenaikan tersebut sebagai usaha dari perusahaan swasta yang meningkatkan perekrutan tenaga kerjanya. Tapi, menurutnya, angka itu, tetap masih jauh dari posisi normal 300 ribu. "Karena itu, pelemahan rupiah mengincar 8.580 dan level penguatannya terbatas di level 8.535-8.525 per dolar AS," katanya kepada INILAH.COM.

Pasar melihat, lanjut Christian, peluang terjadinya resesi gelombang kedua (double dip). Sebab, tingkat tenaga kerja AS masih terus jatuh, sekitar tiga tahun terakhir setelah krisis 2008. "Secara historis, AS membutuhkan lima tahun untuk mendapatkan momentum kenaikan tenaga kerja," ungkapnya.

Karena itu, ditegaskan Christian, sejak awal pasar sudah skeptis, data non-farm payroll bisa memberikan surprise baru. "Karena itu, imbuhnya, market akan kembali mengalami tekanan dan kekhawatiran terhadap krisis double dip pun semakin membesar," tandas Christian.

Kondisi itu, lanjutnya, akan terus terjadi, selama AS belum bisa meyakinkan pasar bahwa ekonomi AS bisa pulih lebih cepat. "Saat ini, pasar sangat gelisah melihat prospek ekonomi AS," ungkapnya.

Pasalnya, tingkat pengangguran AS di level 9,2%. Sebelum krisis 2008, tingkat pengangguran AS di bawah 6%. Sebab, sejak 2004-2007, tingkat pengangguran AS turun ke titik terendahnya 4,5% dari level sebelumnya 5,5%. "Sejak krisis 2008, tingkat pengangguran AS terus mengalami kenaikan dari 4,5% ke level saat ini 9,2%," ungkapnya.

Karena itu, kondisi tenaga kerja AS belum mengalami perbaikan sejak 2008. Memang, sebelumnya sempat mencapai 8,9%, tapi kembali ke level 9,2%. "Sekarang, pasar khawatir, tingkat pengangguran AS justru mencapai 10%," imbuh Christian.

Dia menguraikan, dengan tingkat utang yang semakin menumpuk setelah debt ceiling (batas atas utang) dinaikkan sebesar US$2,1 trliun dari level US$14,3 triliun, pasar semakin khawatir. "Apalagi, pemangkasan anggaran hanya US$2,4 triliun di bawah estimasi pasar. Pada saat yang sama, tingkat pertumbuhan AS sangat rendah sehingga semakin membahayakan AS terjebak ke dalam jurang resesi," paparnya.

Apalagi, yang paling ditakutkan pasar menjadi kenyataan setelah lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor's Rating Service (S&P) menurunkan rating utang AS menjadi AA+ dari AAA pada Jumat (5/8). S&P juga mengeluarkan AS dari CreditWatch, dengan outlook negatif pada Jumat (5/8) waktu setempat.

Dari Eropa, pasar masih mengkhawatirkan kenaikan yield obligasi Italia yang terus merangkak naik ke atas level 6,35% yang merupakan rekor tertingginya. "Jika yield obligasi Italia naik ke level 7%, pemerintahnya akan kesusahan mendapatkan pendanaan untuk membiayai anggarannya," imbuhnya.

Asal tahu saja, kurs rupiah di pasar spot valas antar bank Jakarta, Jumat (5/8) ditutup rontok 48 poin (0,56%) ke level 8.543/8.553 per dolar AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar